Seorang Profesor pagi itu mengajar tentang HIV pada anak. Beliau adalah salah satu dosen yang saya kagumi. Dosen yang membangunkan mahasiswanya melalui cerita-cerita kehidupan yang penuh inspirasi. Beliau sangat concern pada masalah HIV, yang disebut-sebut fenomena gunung es. Kasus yang muncul ke permukaan sangat sedikit, sedangkan outbreak di masyarakat begitu tinggi.
Masyarakat yang beresiko takut mencari tahu apakah ia menderita HIV karena stigmatisasi HIV. Seolah semua orang yang terkena HIV adalah asusila, padahal tidak semuanya begitu. Teknologi kedokteran belum bisa menyembuhkannya (sama dengan diabetes dan hipertensi) , tetapi masih banyak yang bisa dilakukan pada pasien HIV sebelum pasien jatuh ke tahap AIDS.
Banyak ibu rumah tangga yang soleha mendapatkan virus HIV dari suaminya, atau mungkin bayi-bayi yang lahir tanpa dosa dari rahim ibu HIV. Bahkan , ibu-ibu hamil yang sudah terinfeksi tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi HIV, sehingga mereka tidak melakukan upaya apapun. Jumlah bayi yang lahir dengan HIV positive pun meningkat tajam. Padahal penularan dari ibu ke bayi bisa sangat diminimalisasi hingga hanya 1% dengan meminum obat anti HIV sehingga jumlah virus HIV terkendali. Tidak mengherankan jika di negara maju, jumlah bayi lahir dengan HIV sudah menurun drastis.
Beliau lalu bercerita kedatangan pasien HIV yang merupakan pengguna narkoba jarum suntik. "Apa yang akan anda lakukan?", tanyanya. Sebagai mahasiswa yang masih sok idealis, jawaban saya di otak, tentu pertama saya akan menjelaskan penularan HIV, kemudian menyarankannya untuk berhenti menggunakan narkoba karena efek yang buruk bagi kesehatan dan blablabla. Jika saya tidak mampu, saya juga akan menawarkannya untuk mengikuti pusat rehabilitasi dan konseling keagamaan.
"Apa anda akan memintanya untuk berhenti?"
Kami semua termenung dengan rentetan jawaban masing-masing di kepala kami
"Saya tidak akan menyuruhnya berhenti saat itu juga"
Woww, pikir saya, kok aneh? Bukannya narkoba berbahaya, dan tugas sebagai dokter untuk memberi tahu hal itu kepada pasien?
"Saya bilang kepadanya, kamu boleh tetap menggunakan narkoba, tetapi kamu pakai jarum baru. Ini saya kasi" , lanjut beliau,
Beliau kembali menambahkan, "Jika saya menyuruhnya berhenti, toh dia juga tidak mungkin berhenti dan menjadi antipati dengan saya. Jadi lebih baik saya berusaha supaya dia tidak menulari orang lain dulu, menunggu kedatangannya yang kedua, ketiga, keempat dst, hingga dia mulai percaya dengan saya, dan di saat itu saya akan menyarankannya untuk mengikuti pusat rehabilitasi"
Pola pikir yang sangat cerdas. Kadang idealisme yang berlebihan membuat kita menjadi terlalu kaku dan melupakan ada hal mudah yang lebih penting yang harus segera kita dahulukan.
Kita memang seharusnya selalu berpegangan pada hal-hal yang benar dan paling mulia (ajaran agama dll). Ya saya setuju. Tetapi semakin lama saya menyadari bahwa hidup tidak sesimpel itu, mengajak orang kembali ke jalan yang baik tidak semudah itu. Kadang kita harus membiarkannya sedikit membelok untuk kembali ke jalan yang sesuai dengan perintahNya.
www.renesie.blogspot.com
Picture sources :
www.raylitpoems.blogspot.com
www.redpepper.co.ug
www.teddyandika.blogspot.com