Halaman

Kamis, 27 Februari 2014

Tahun Politik 2014


9 April 2014 , tidak lama lagi rakyat negeri ini akan menjalani pesta demokrasi untuk memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif. Bukan hal yang baru, bukan hal yang tabu, sudah menjadi lazim setiap tahun politik jalanan menjadi "mendadak ramai" . Baliho bermunculan dengan foto para caleg yang besar dengan kata-kata, jangan lupa coblos saya, pilihlah saya untuk ....................... (Nama daerah ) yang sejahtera, pemimpin yang tulus, dll. Dari sekian banyak baliho yang saya lewati di jalan raya, semuanya manis, tetapi jarang sekali bersifat manis dan konkret. Membawa daerah sejahtera, memperjuangkan aspirasi masyarakat, terlalu umum dan general. Sejahtera dilihat dari apa? Sejahtera menggunakan indikator apa? Aspirasi masyarakat dalam hal apa, dengan cara apa? 

Menjelang tahun politik, semua calon berbondong-bondong melakukan blusukan ke desa-desa, berdialog dengan warga, memberi bantuan ketika bencana datang.  Jadi mungkin wajar jika kebanyakan rakyat menjudge wakil rakyat hanya memberi janji , walaupun tidak semua begitu. Masih ada yang berniat tulus untuk mengabdi demi negeri. 

Tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk membuat baliho dan media iklan lainnya, sehingga sangat disayangkan jika dari baliho dan media iklan itu masyarakat hanya mengenal foto caleg tanpa mengetahui secara konkret siapa beliau, apa visi misinya. Modal yang sangat besar untuk memperkenalkan diri dan pencitraan. Apa semakin besarnya modal saat kampanye berkaitan dengan semakin tingginya kemungkinan penyalahgunaan wewenang? Sayangnya belum ada kajian ilmiah mengenai hal ini. Semoga caleg yang terpilih nantinya lebih memikirkan rakyatnya dari pada modal awal mereka.  Panwaslu mengemban tugas berat mengaudit dana kampanye.

Jika dilihat 15 tahun kebelakang, sebelum tahun 1999, tahun politik tidak "seramai sekarang" . Partai politik hanya ada tiga, dan selalu dimenangkan oleh partai golongan karya. Tidak ada pertarungan terjun bebas di antara caleg. Lebih tertata ? Mungkin, atau lebih mengekang? 
Apa mau balik ke jaman itu? 
Ketika sebagian orang menganggap masa-masa orde baru adalah masa yang aman tenang dan stabil, sebagian lagi merasa kestabilan itu semu, dipaksakan, masyarakat bukan tidak protes tapi tidak berani.

Ketika ada yang mengeluh , betapa nyamannya hidup di orde baru, kehidupan lebih sejahtera karena harga BBM dan sembako yang murah. Tetapi bagaimana jika kesejahteraan itu ibarat bom waktu, karena negara mengeluarkan subsidi BBM dalam jumlah besar? 

Harga bensin tahun 1993-1997 hanya Rp 700/liter , sekilas tentu kita akan menyalahkan reformasi yang membuat harga bensin menjadi Rp 6500/liter, tetapi kesimpulan ilmiah harus dibuat dari metode yang ilmiah. Jika dulu harga bensin 700 , berapa pendapatan perkapita saat itu, berapa upah minimum masyarakat, berapa effort yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan bensin 1 liter, dan faktor-faktor lain yang juga harus dibandingkan dengan jaman sekarang.
"Lebih enak jamanku toh?" , banyak masyarakat yang hidupnya dulu lebih sejahtera tetapi banyak juga yang sekarang lebih makmur. Roda yang selalu berputar dan orang-orang lain yang melangkah maju, tentu yang tetap berdiri di titik start akan ketinggalan.

Pemimpin itu menentukan nasib bangsa, tetapi bukan menentukan nasib kita secara personal. Masih banyak yang bisa diintrospeksi dan dibenahi sebelum menyalahkan pemimpin karena susahnya hidup.

Indonesia sedang dalam masa reformasi, layaknya manusia, bangsa ini sedang memasuki usia remaja menuju kedewasaan. Dan reformasi adalah proses yang tidak bersalah dari hiruk pikuk keadaan sekarang. Saya yakin pemilu 2014 adalah proses pembelajaran politik untuk bangsa ini dan rakyat indonesia untuk menjadi negara demokrasi yang maju.  Siapapun caleg, parpol, capres yang menang , semoga mempercepat terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini.
Pasti, suatu saat nanti.....


Hanya opini dari seorang rakyat yang awam politik


Sumber gambar
www.kpud-batamkota.go.id
www.telegraph.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar