Halaman

Kamis, 27 Februari 2014

20 th

Untukmu : 
Langit Malam yang kali ini lebih terang
Dari aku :
seorang gadis pengagum bintang

Bertambah usia itu kepastian
Tetapi menjadi dewasa adalah pilihan

Waktu terus berlari
takkan pernah kembali

Ku tak ingin melewati hari dengan sia-sia
Selalu bermimpi mewujudkan asa

Ada mimpi yang menjadi kenyataan
Lainnya tetap menjadi angan-angan

Selamat datang dua puluh
Walau aku belum siap menyambutmu

Tahun Politik 2014


9 April 2014 , tidak lama lagi rakyat negeri ini akan menjalani pesta demokrasi untuk memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif. Bukan hal yang baru, bukan hal yang tabu, sudah menjadi lazim setiap tahun politik jalanan menjadi "mendadak ramai" . Baliho bermunculan dengan foto para caleg yang besar dengan kata-kata, jangan lupa coblos saya, pilihlah saya untuk ....................... (Nama daerah ) yang sejahtera, pemimpin yang tulus, dll. Dari sekian banyak baliho yang saya lewati di jalan raya, semuanya manis, tetapi jarang sekali bersifat manis dan konkret. Membawa daerah sejahtera, memperjuangkan aspirasi masyarakat, terlalu umum dan general. Sejahtera dilihat dari apa? Sejahtera menggunakan indikator apa? Aspirasi masyarakat dalam hal apa, dengan cara apa? 

Menjelang tahun politik, semua calon berbondong-bondong melakukan blusukan ke desa-desa, berdialog dengan warga, memberi bantuan ketika bencana datang.  Jadi mungkin wajar jika kebanyakan rakyat menjudge wakil rakyat hanya memberi janji , walaupun tidak semua begitu. Masih ada yang berniat tulus untuk mengabdi demi negeri. 

Tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk membuat baliho dan media iklan lainnya, sehingga sangat disayangkan jika dari baliho dan media iklan itu masyarakat hanya mengenal foto caleg tanpa mengetahui secara konkret siapa beliau, apa visi misinya. Modal yang sangat besar untuk memperkenalkan diri dan pencitraan. Apa semakin besarnya modal saat kampanye berkaitan dengan semakin tingginya kemungkinan penyalahgunaan wewenang? Sayangnya belum ada kajian ilmiah mengenai hal ini. Semoga caleg yang terpilih nantinya lebih memikirkan rakyatnya dari pada modal awal mereka.  Panwaslu mengemban tugas berat mengaudit dana kampanye.

Jika dilihat 15 tahun kebelakang, sebelum tahun 1999, tahun politik tidak "seramai sekarang" . Partai politik hanya ada tiga, dan selalu dimenangkan oleh partai golongan karya. Tidak ada pertarungan terjun bebas di antara caleg. Lebih tertata ? Mungkin, atau lebih mengekang? 
Apa mau balik ke jaman itu? 
Ketika sebagian orang menganggap masa-masa orde baru adalah masa yang aman tenang dan stabil, sebagian lagi merasa kestabilan itu semu, dipaksakan, masyarakat bukan tidak protes tapi tidak berani.

Ketika ada yang mengeluh , betapa nyamannya hidup di orde baru, kehidupan lebih sejahtera karena harga BBM dan sembako yang murah. Tetapi bagaimana jika kesejahteraan itu ibarat bom waktu, karena negara mengeluarkan subsidi BBM dalam jumlah besar? 

Harga bensin tahun 1993-1997 hanya Rp 700/liter , sekilas tentu kita akan menyalahkan reformasi yang membuat harga bensin menjadi Rp 6500/liter, tetapi kesimpulan ilmiah harus dibuat dari metode yang ilmiah. Jika dulu harga bensin 700 , berapa pendapatan perkapita saat itu, berapa upah minimum masyarakat, berapa effort yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan bensin 1 liter, dan faktor-faktor lain yang juga harus dibandingkan dengan jaman sekarang.
"Lebih enak jamanku toh?" , banyak masyarakat yang hidupnya dulu lebih sejahtera tetapi banyak juga yang sekarang lebih makmur. Roda yang selalu berputar dan orang-orang lain yang melangkah maju, tentu yang tetap berdiri di titik start akan ketinggalan.

Pemimpin itu menentukan nasib bangsa, tetapi bukan menentukan nasib kita secara personal. Masih banyak yang bisa diintrospeksi dan dibenahi sebelum menyalahkan pemimpin karena susahnya hidup.

Indonesia sedang dalam masa reformasi, layaknya manusia, bangsa ini sedang memasuki usia remaja menuju kedewasaan. Dan reformasi adalah proses yang tidak bersalah dari hiruk pikuk keadaan sekarang. Saya yakin pemilu 2014 adalah proses pembelajaran politik untuk bangsa ini dan rakyat indonesia untuk menjadi negara demokrasi yang maju.  Siapapun caleg, parpol, capres yang menang , semoga mempercepat terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini.
Pasti, suatu saat nanti.....


Hanya opini dari seorang rakyat yang awam politik


Sumber gambar
www.kpud-batamkota.go.id
www.telegraph.co.uk

Senin, 10 Februari 2014

Being Different isn't Always Bad


Hidup besar di dunia bisnis sedikit banyak membentuk pola pikirku. Masih teringat jelas di benakku, ketika aku kelas 3 SD, jika ditanya ingin jadi apa, aku akan menjawab, "ingin jadi pengusaha", tentu saja kedengaran aneh bagi orang-orang yang bertanya. Saat itu, anak-anak seusiaku lebih memilih menjadi dokter, insinyur, guru dll. 

Masa kecilku nyaris sempurna, hidup di keluarga yang harmonis dan berkecukupan. Sekolahku juga lancar-lancar saja, kerap kali menjadi juara kelas (pamer juara waktu kecil, hehe) . Sampai suatu saat, salah satu guru SDku keceplosan berkata "Jelas saja kamu bisa jadi juara, orang tuamu punya uang untuk memberikanmu fasilitas". Aku tersentak dengan ucapan guru itu, saat itu aku menganggap guru adalah teladan. "Memang sih , orang tuaku bisa membelikanku buku yang aku mau, membayar biaya lesku, tapi kan aku berusaha ", gumamku sewot dalam hati

Dan guru SDku itu bukan orang yang terakhir.  Aku bersekolah di SMP dan SMA negeri, di tempat tinggalku sekolah negerilah yang menjadi favourite. Prestasiku cukup konstan, sehingga puji syukur, aku mendapat free pass ke SMA negeri. Sayangnya, kadang sebagian orang hanya melihat kita dari siapa dan bagaimana orang tua kita bukan dari diri kita sendiri. Seperti biasa, pertanyaan umum yang sering ditanyakan orang-orang, sudah kelas berapa dan sekolah dimana, suatu hari ada yang nyambung bertanya  "Lo, dik kamu sekolah di SMA 1 nyogok ya?" . Beberapa bulan kemudian ada lagi yang bertanya "Kamu bisa masuk di SMA 1, nyogok berapa juta?" . 

Ketika sudah kelas 3 SMA, aku mulai bingung memilih jurusan apa, dulunya sempat kepikiran IT, tapi karena suatu hal, aku mengurungkannya. Masuklah dalam suatu fase labil memilih jurusan. Di tengah pikiran yang lagi sibuk membayangkan beberapa pekerjaan, ada ibu berusia paruh baya datang ke toko orang tuaku, ia membeli sesuatu , sambil menunggu ia bercerita dengan papaku tentang anaknya yang pintar dan kini diterima di universitas yang bergengsi, kemudian ia melirik ke arahku, "Kalau adik kayaknya sudah jelas ya mau kuliah ekonomi, gak usah kuliah susah-susah, nanti tinggal nerusin usaha papa " 

Tiga komentarku dalam hati saat mendengarnya, aneh, ganjil, langka. Sebenarnya ingin sekali membantah, tetapi aku sadar, dia pembeli sekarang, dia raja sekarang, nanti dia batal lagi membeli gara-gara berdebat kusir denganku, hahaha. Papaku berjiwa fighter, risk taker, tegas, tentu tidak mau memberikan usahanya kepada anaknya jika niat anaknya hanya meneruskan.

Aku tidak ingin kuliah demi gelar seperti kata ibu paruh baya itu. Setelah bingung memilih jurusan, tiba-tiba mamaku menyarankan kuliah kedokteran. "Whatttt?, hah? Jadi dokter, enggak gak mau, gak suka biologi titik" . Mamaku cuma bilang " Ya sudah kamu pikir-pikir dulu, biologi kan bisa dipelajari sama seperti matematika , pelajaran kesukaanmu" 

Saran mamaku yang sangat out of the box itu, akhirnya membuatku berpikir juga. "Aku kan gak bisa menghafal" , pikirku. Kemudian terlintas lagi , "Harusnya dokter juga make logika sih, gak hafalan aja" . "Aku kan gak bisa tidur malem, apalagi bangun tengah malem" , pikiran kontradiksi pun segera menyusul " Spesialisasi dokter kan banyak, yang gak usah bangun tengah malem juga ada" 

Beberapa bulan kemudian , aku memutuskan memilih jurusan itu. Mmm, memang cukup nekat sih, aku tidak tahu bagaimana kehidupan seorang dokter, aku tidak punya famili dokter, tidak suka biologi, tidak bisa menghafal, dan berbagai kendala yang sangat jelas terlihat jika aku sedang berpikiran pesimis. Di sisi lain, aku memyadari menjadi dokter adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak dan lebih aware akan medis. Orang tuaku pasti akan menua, aku ingin mereka punya quality of life yang baik dan berumur panjang. Mungkin, jika aku mengerti tentang kesehatan , itu akan membantu merawat mereka lebih baik.

Puji syukur aku diterima, ingin rasanya bisa bertemu dengan ibu paruh baya itu sekedar untuk berkata aku diterima, sayang aku tidak pernah melihatnya lagi. Profesi dokter memang tidak semulia dulu, sudah banyak ada noda di profesi ini, tapi setidaknya masyarakat awam masih menganggap sebagai salah satu profesi yang disegani karena dokter dianggap "pintar".  Sebenarnya, aku tidak ingin dianggap pintar, cukup tidak dianggap orang yang pasrah meneruskan usaha orang tua. Sudah itu saja. Hehe

Aku suka quote acara hitam putih di salah satu tv swasta  "Tuhan yang memberikan kita hidup, kita yang menjalani, orang lain yang mengomentari"

Semakin hari aku belajar, aku tidak cukup hebat untuk membentuk opini publik , dan aku tidak mungkin bisa membuat pilihan yang dianggap baik oleh semua orang. Jadi aku perlu belajar untuk menerima komentar dan opini orang, dan lebih jarang menggerutu ketika mendengar komentar negatif yang tidak benar. Aku yang hidup di dunia non kedokteran, jelas saja ada sebagian kecil orang yang mengomentari atau menyayangkan pilihanku, walaupun memang kebanyakan mendukung pilihanku. 

"Kuliah kedokteran lama, biayanya mahal, belum tentu sukses" 
"Kenapa susah-susah belajar sampai tua?" 
Ya aku tahu, jika dihitung dari segi bisnis, pilihan kuliah kedokteran bukan investasi yang baik, hahaha

" Loh kenapa kamu bisa milih masuk fk? " salah seorang kawan lama menyayangkan
Aku menjawabnya " Apa yang salah dengan menjadi dokter?" 

Aku berbisik dalam hati "Being Different isn't always bad" 



sumber gambar :
http://demonflair.deviantart.com
http://www.erikaliodice.com
http://rachelslookbook.com