Hidup besar di dunia bisnis sedikit banyak membentuk pola pikirku. Masih teringat jelas di benakku, ketika aku kelas 3 SD, jika ditanya ingin jadi apa, aku akan menjawab, "ingin jadi pengusaha", tentu saja kedengaran aneh bagi orang-orang yang bertanya. Saat itu, anak-anak seusiaku lebih memilih menjadi dokter, insinyur, guru dll.

Masa kecilku nyaris sempurna, hidup di keluarga yang harmonis dan berkecukupan. Sekolahku juga lancar-lancar saja, kerap kali menjadi juara kelas (pamer juara waktu kecil, hehe) . Sampai suatu saat, salah satu guru SDku keceplosan berkata "Jelas saja kamu bisa jadi juara, orang tuamu punya uang untuk memberikanmu fasilitas". Aku tersentak dengan ucapan guru itu, saat itu aku menganggap guru adalah teladan. "Memang sih , orang tuaku bisa membelikanku buku yang aku mau, membayar biaya lesku, tapi kan aku berusaha ", gumamku sewot dalam hati
Dan guru SDku itu bukan orang yang terakhir. Aku bersekolah di SMP dan SMA negeri, di tempat tinggalku sekolah negerilah yang menjadi favourite. Prestasiku cukup konstan, sehingga puji syukur, aku mendapat free pass ke SMA negeri. Sayangnya, kadang sebagian orang hanya melihat kita dari siapa dan bagaimana orang tua kita bukan dari diri kita sendiri. Seperti biasa, pertanyaan umum yang sering ditanyakan orang-orang, sudah kelas berapa dan sekolah dimana, suatu hari ada yang nyambung bertanya "Lo, dik kamu sekolah di SMA 1 nyogok ya?" . Beberapa bulan kemudian ada lagi yang bertanya "Kamu bisa masuk di SMA 1, nyogok berapa juta?" .
Ketika sudah kelas 3 SMA, aku mulai bingung memilih jurusan apa, dulunya sempat kepikiran IT, tapi karena suatu hal, aku mengurungkannya. Masuklah dalam suatu fase labil memilih jurusan. Di tengah pikiran yang lagi sibuk membayangkan beberapa pekerjaan, ada ibu berusia paruh baya datang ke toko orang tuaku, ia membeli sesuatu , sambil menunggu ia bercerita dengan papaku tentang anaknya yang pintar dan kini diterima di universitas yang bergengsi, kemudian ia melirik ke arahku, "Kalau adik kayaknya sudah jelas ya mau kuliah ekonomi, gak usah kuliah susah-susah, nanti tinggal nerusin usaha papa "

Tiga komentarku dalam hati saat mendengarnya, aneh, ganjil, langka. Sebenarnya ingin sekali membantah, tetapi aku sadar, dia pembeli sekarang, dia raja sekarang, nanti dia batal lagi membeli gara-gara berdebat kusir denganku, hahaha. Papaku berjiwa fighter, risk taker, tegas, tentu tidak mau memberikan usahanya kepada anaknya jika niat anaknya hanya meneruskan.
Aku tidak ingin kuliah demi gelar seperti kata ibu paruh baya itu. Setelah bingung memilih jurusan, tiba-tiba mamaku menyarankan kuliah kedokteran. "Whatttt?, hah? Jadi dokter, enggak gak mau, gak suka biologi titik" . Mamaku cuma bilang " Ya sudah kamu pikir-pikir dulu, biologi kan bisa dipelajari sama seperti matematika , pelajaran kesukaanmu"
Saran mamaku yang sangat out of the box itu, akhirnya membuatku berpikir juga. "Aku kan gak bisa menghafal" , pikirku. Kemudian terlintas lagi , "Harusnya dokter juga make logika sih, gak hafalan aja" . "Aku kan gak bisa tidur malem, apalagi bangun tengah malem" , pikiran kontradiksi pun segera menyusul " Spesialisasi dokter kan banyak, yang gak usah bangun tengah malem juga ada"
Beberapa bulan kemudian , aku memutuskan memilih jurusan itu. Mmm, memang cukup nekat sih, aku tidak tahu bagaimana kehidupan seorang dokter, aku tidak punya famili dokter, tidak suka biologi, tidak bisa menghafal, dan berbagai kendala yang sangat jelas terlihat jika aku sedang berpikiran pesimis. Di sisi lain, aku memyadari menjadi dokter adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak dan lebih aware akan medis. Orang tuaku pasti akan menua, aku ingin mereka punya quality of life yang baik dan berumur panjang. Mungkin, jika aku mengerti tentang kesehatan , itu akan membantu merawat mereka lebih baik.
Puji syukur aku diterima, ingin rasanya bisa bertemu dengan ibu paruh baya itu sekedar untuk berkata aku diterima, sayang aku tidak pernah melihatnya lagi. Profesi dokter memang tidak semulia dulu, sudah banyak ada noda di profesi ini, tapi setidaknya masyarakat awam masih menganggap sebagai salah satu profesi yang disegani karena dokter dianggap "pintar". Sebenarnya, aku tidak ingin dianggap pintar, cukup tidak dianggap orang yang pasrah meneruskan usaha orang tua. Sudah itu saja. Hehe
Aku suka quote acara hitam putih di salah satu tv swasta "Tuhan yang memberikan kita hidup, kita yang menjalani, orang lain yang mengomentari"
Semakin hari aku belajar, aku tidak cukup hebat untuk membentuk opini publik , dan aku tidak mungkin bisa membuat pilihan yang dianggap baik oleh semua orang. Jadi aku perlu belajar untuk menerima komentar dan opini orang, dan lebih jarang menggerutu ketika mendengar komentar negatif yang tidak benar. Aku yang hidup di dunia non kedokteran, jelas saja ada sebagian kecil orang yang mengomentari atau menyayangkan pilihanku, walaupun memang kebanyakan mendukung pilihanku.
"Kuliah kedokteran lama, biayanya mahal, belum tentu sukses"
"Kenapa susah-susah belajar sampai tua?"
Ya aku tahu, jika dihitung dari segi bisnis, pilihan kuliah kedokteran bukan investasi yang baik, hahaha
" Loh kenapa kamu bisa milih masuk fk? " salah seorang kawan lama menyayangkan
Aku menjawabnya " Apa yang salah dengan menjadi dokter?"
Aku berbisik dalam hati "Being Different isn't always bad"
sumber gambar :
http://demonflair.deviantart.com
http://www.erikaliodice.com
http://rachelslookbook.com