Halaman

Kamis, 21 April 2016

Melihat dari Dua Sisi Uang Logam

Isu mengenai agama selalu menjadi topik yang sensitif sekaligus hangat untuk diperbincangkan. Tidak jarang untuk menarik banyak follower di era social media ini, orang-orang ramai mengepost segala sesuatu berbau agama. Sebagian besar mempunyai niat tulus untuk berbagi kebaikan tetapi segelintir bermaksud untuk memprovokasi. Mereka pun berhasil, postnya menjadi trending topic. Halaman komentar seketika berubah menjadi ajang adu mulut, menentukan siapa yang benar, agama siapa yang lebih baik, dan malangnya lagi menggunakan kata-kata yang tidak beragama. Mengapa agama harus diperdebatkan jika tujuan kita satu? Saya berkeyakinan semua agama mengajarkan hal yang sama, KEBAIKAN dengan caranya masing-masing. 
Pendiri bangsa ini sudah mencanangkan pancasila dengan sila-silanya yang begitu arif, tetapi praktiknya butuh usaha dari semua pihak. Sejak kecil saya besar di lingkungan minoritas. Sedikit tidaknya saya tahu bagaimana rasanya menjadi berbeda.  Bukankan setiap insan tidak bisa memilih terlahir di keluarga seperti apa? Budaya timur masih menganut prinsip mengikuti orang tua. Kita diajak untuk mengikuti satu agama tanpa diberi kesempatan memilih. Bahkan kita kesulitan mendapat akses untuk mempelajari agama yang lain.
Tidak ada penyesalan dalam diri, orang tua selalu menyekolahkan di sekolah yang membuat saya menjadi minoritas. Jauh di lubuk hati saya, kerap kali terbesit rasa syukur. Karena dengan begitu saya bisa mentoleransi perbedaan. Indah tidak selalu harus sama. 
Kadang cukup pilu mendengar perdebatan dan saling adu mulut masalah agama dari orang-orang yang berpendidikan. Bukankah logika mereka seharusnya sangat baik untuk bisa melihat dari dua sisi? Banyak faktor yang berpengaruh. Keluarga, sekolah, dan juga lingkungan. Kehidupan di keluarga susah diintervensi secara masal, begitu juga dengan lingkungan. Perbaikan membutuhkan perubahan yang  gambling antara berhasil atau tidak. Mengutip dari kata Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon to change the world". Ada peluang untuk mengubah generasi bangsa menjadi lebih tolerir, sekolah!

Saya menyadari pentingnya ajaran agama ditanamkan dari kecil. Konon, anak dengan agama yang baik akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Tapi ada yang sedikit menggelitik benak saya, mungkin lebih baik jika kita juga dikenalkan dengan agama lain dari kecil.  Bukan untuk membuat bimbang dengan agama orang tua kita tetapi memperkaya wawasan, menyadari agama lain juga mengajarkan hal yang baik, sehingga lebih mampu bertoleransi. Menurut saya sekolah yang menerima siswa dari agama apapun adalah salah satu solusi yang baik. Mohon maaf jika menyinggung. Yang saya pikirkan adalah cukup susah untuk bertoleransi terhadap perbedaan jika kita tidak mengenal. 

Jika kita sekolah di sekolah agama A dari SD hingga kuliah, maka teman-teman,  guru-guru yang kita kenal kebanyakan bergama A. Ketika ada isu berbumbu pedas di mass media tentang agama B, maka kita akan lebih mudah untuk terpengaruh. Yang pertama karena kita tidak tahu dengan agama B. Kemudian, kita tidak punya teman dekat agama B , sehingga tidak ada yang bisa kita tanyakan selain mbah google. Dan yang terakhir, kita mempunyai kesempatan yang lebih terbatas untuk mengenal orang baik dari agama B.
 Seandainya kita punya teman baik dari agama B, tentu kita tidak mudah percaya, karena sudah membuktikannya langsung bahwa teman dekat kita adalah orang baik dan tidak sesuai dengan pemberitaan di mass media. Saya tetap mendukung sekolah agama sepanjang tidak mengajarkan untuk antipati terhadap agama lain, yang saya yakin sebagian besar tidak. Alangkah lebih baik, di sekolah agama juga diajarkan mengenai agama dan budaya lain, misal lewat festival budaya, pentas seni 17 agustus, dll. Para guru juga harus memotivasi peserta didik bergaul seluas-luasnya, lintas sekolah dan agama. Dengan begitu, kita tidak akan tumbuh di dalam tempurung, selalu menoleh ke jendela luar, dan melihat dari dua sisi uang logam. Don't judge, just do the good things

Thank you for reading
Renesie