Sinar matahari pagi menembus gorden, berusaha membangunkan penghuninya. Aku terbangun kaget, "oh sudah jam setengah 7", keluhku dalam hati, yang berarti alarm sudah aku snooze sebanyak tiga kali. Dengan masih menahan ngantuk , aku melangkahkan kaki mengambil handuk dan melakukan rutinitas pagi. Sadar sudah terlambat, aku mempercepat setiap gerakanku.
Kegiatan di poli berjalan seperti biasa, nyaris tidak ada yang spesial. Poli yang sempit dengan ruang tunggu padat pasien yang mencari secercah harapan. Kemudian pasien wanita berusia sekitar 30an. Dia mengenakan terusan bunga-bunga dengan jilbab yang dililitkan di lehernya. Wajahnya nampak cemas dan bingung, tapi masih jelas terpancar kecantikannya. Namanya ibu devi. Ibu devi pun naik ke kasur pemeriksaan khusus kandungan dan diperiksa oleh supervisor. Kursinya didesain khusus untuk memudahkan pemeriksaan pada area intim wanita, dengan 2 tatakan besi di kanan kiri untuk meletakkan kaki pasien. Ibu devi tampak kesakitan, menangis, dan sangat tidak kooperatif.
Oh ini toh yang dibilang si candra barusan saat aku ke ruang sebelah menanyakan kina. "Lohh si kina mana can?" "Itu tuh doi lg anamnesa pasien skizofrenia", sambil menunjuk keluar ruangan. "Dari tadi ga balik-balik", lanjutnya lagi.
Sedikit saya akan membahas tentang skizofrenia. Skizofrenia , maaf bahasa awamnya adalah gila, walaupun istilah "gila" sudah tidak diperbolehkan lagi karena identik dengan stigma yang memojokkan penderita. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa kronis dengan durasi lebih dari satu bulan, yang ditandai adanya hendaya(gangguan.red) dalam menilai realita atau psikotik. Ada mitos-mitos yang menyebutkan skizofrenia adalah penyakit kutukan, penyakit akibat guna-guna, turunan , dll. Perlu ditekankan disini, hal tersebut adalah tidak benar. Sungguh disayangkan banyak penderita skizofrenia yang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya, mereka dibawa ke pengobatan alternatif, minum air suci, jamu-jamuan yang belum jelas bukti ilmiah nya.
Penyebabnya multifaktorial, mulai dari genetik, neurokimiawi di otak, pola asuh, malnutrisi, stresor yang berat hingga penggunaan NAPZA. Kembali mengingatkan, genetik bukan berarti keturunan yang mengikuti hukum mendel (misal pada buta warna) . Peran genetik ini didasarkan pada bukti epidemiologis, bila salah satu orang tua skizofrenia, kemungkinan anaknya menderita skizofrenia sebesar 10-20%. Skizofrenia juga dikaitkan dengan hiperaktivitas dopaminergik dan serotonergik yang merupkan tempat kerja dari sebagian besar obat-obat psikotropika. Kelemahan ego (mekanisme diri dalam menghadapi masalah) tertentu juga mrupakan cikal bakal skizofrenia. Mekanisme pembelaan ego proyeksi, Impuls internal yang tidak dapat diterima ditanggapi seakan-akan berasal dari luar diri. Misal tidak lulus ujian karena beranggapan guru tidak suka dengannya dan memberi nilai jelek. Atau kalah dalam kompetisi karena sedang sakit. Gampangannya ini merupakan cerminan orang-orang yang suka mencari alasan. Hal ini menimbulan waham paranoid dan menyebabkan skizofrenia paranoid. Ciri kepribadian tertentu, seperti paranoid, skizoid(suka menyendiri , tidak suka bergaul) juga merupakan faktor risiko dari skizofrenia. Sungguh multifaktorial bukan?
Oke balik lagi ke cerita tadi ya.
Supervisor poli lalu meminta untuk dilakukan biopsi karena dicurigai kanker leher rahim. Biopsi merupakan prosedur pengambilan jaringan. Dengan cepat saya langsung meminta ijin untuk melakukan biopsi ke ppds, "Dok, boleh saya yang biopsi?" , kata saya penuh harap. Senior saya (PPDS , mereka yang sedang menempuh sekolah spesialis) menjawab iba, "maaf ya dik, ini pasiennya tidak kooperatif, tadi kata perawatnya sempet teriak marah-marah, padahal kalau enggak saya pingin lo ngasi ke kamu", ujarnya merasa kasihan denganku.
Jika anda tertarik membaca mengenai pencegahan kanker serviks/leher rahim, dapat mengunjungi link : http://renesie.blogspot.co.id/2013/11/vaksin-cegah-kanker-servix-perlukah.html
Dokternya lalu mengedukasi ibu devi , "Bu, nanti saya masukkan alat, ibu nya jangan gelisah ya, kalau gelisah malah bahaya bisa berdarah-darah", ujarnya.
"Ya gimana ya dok kalau sakit", ujarnya dengan ekspresi datar.
Dokter : "ya harus ditahan bu biar tidak berdarah"
ibu devi : "saya kan susah dok nahan rasa sakit", tetap kekeh tidak mau diperiksa
Dokter : "ditahan aja bu"
Beliau pun dengan cekatan memasuki alat untuk memeriksa leher rahim. Alatnya ada yang terbuat dari besi / plastik, ukurannya cukup besar, diameter sekitar 7, orang normal pun juga pasti merasakan sakit. Saat dokter ppds memasukkan alatnya, pasiennya tampak tegang, sehingga alatnya tidak bisa masuk.
Kemudian dokter nya memberi isyarat ke saya untuk menenangi pasiennya
Saya : "Bu yang tenang ya jangan ditahan, ibu nya relaks aja, tarik nafas buang nafas" , saya pun jadi ikut-ikutan tarik nafas buang nafas untuk memberi contoh
Ibu : "Tapi sakit dok, ini saya diperiksa untuk apa"
Saya : "Biar tau penyakitnya ibu bu, katanya kan ibu pendarahan ya? Ibu mau sembuh kan? ", kataku bertanya meminta persetujuan
Ibu : " Iya dok sudah lama, dulu saya tidak mau berobat karena suami saya jahat", kali ini ekspresi mukanya sedikit berubah
Dokter : "Jahat kenapa bu? ", beliau menimpali saat melakukan pemeriksaan secara seksama
Ibu : " Iya dia tidak pulang-pulang dok, tapi sekarang saya mau berobat dok, saya berobat untuk saya, saya takut berdarah-darah"
Saya : "Iya bu makanya ini diperiksa dulu ya, biar tau penyakitnya, biar ngobatinnya bener, ibu mau sembuh kan?", bujukku lagi
Ibu : "Iya dok saya mau sembuh, ini saya kena guna-guna dok. Ada orang yang tidak seneng dengan saya, saya tahu dok, dia sudah lama tidak suka dengan saya", ceritanya seperti anak-anak dengan ekspresi yang datar
Disini saya bisa melihat sifat kekanak-kanakan yang merupakan kemunduran mental yang merupakan salah satu ciri dari psikotik. Tampak juga waham paranoid/curiga
Saya : " Iya bu makanya nanti ibu tenang ya biar bisa ga berdarah-darah lagi"
Ibu : "Iya dok gak apa-apa, saya mau dok, saya mau sembuh."
Dokter ppds mengambil jaringan leher rahim pasien dengan menggunakan alat, dijepit dan ditarik, yang sudah pasti sakit. Untungnya, ibu devi sudah tenang, sehingga pemeriksaan berjalan dengan lancar
Saya : "Sudah ya bu sudah selesai, wah ibunya pinter", ujarku memberi pujian
Dokter : " Dik kamu edukasi dia sejam lagi kesini lepas kasa, ini keluarganya mana sih"
Saya : " Ibu, sekarang dipasang kasa biar ga berdarah. Nanti sejam lagi kesini lagi ya lepas kasa. Nanti ketemu saya lagi" Saya lalu menunjukkan arloji tangan saya , "ini jam berapa bu?"
Ibu devi :"Jam setengah 12."
Saya : "Jadi sejam lagi ibu ketemu saya jam berapa? Ibu bawa jam gak?"
Ibu : " Gak bawa dok, jadi jam setengah satu ketemu dokter"
saya : " Sipp bu , sejam lagi jangan lupa ya ketemu saya lagi, sudah bu celananya boleh dipakai"
Suaminya (pak ali) pun muncul . Beliau tampak lebih pendek dari si ibu, berkumis , kulit sawo matang dan wajah tegang. Pak ali membuka pintu dengan agak kasar
Dokter : "Nanti sejam lagi kesini lepas kasa ya pak."
Pak ali : "Lepas kasa apa dok?", tanyanya dengan lantang
Dokter : "Ini tadi saya ambil jaringannya , biar ga berdarah-darah saya kasi kasa"
Pak ali : "Lo? Setelah diambil kasa ga berdarah kan?", dengan nada lebih tinggi , berharap prosedur tadi bisa menghentikan pendarahan
Dokter : "Iya tetep berdarah pak, kan penyakitnya belum sembuh"
Pak ali : "Sejam lagi ya dok? Jam berapa?"
Ibu devi : "Jam setengah satu mas sejam lagi ( dia tampak kesal dengan suaminya yang tidak mengerti ucapan sejam lagi, haha)"
Sekedar informasi, sebagian besar penderita skizofrenia tidak mengalami kemunduran intelektual.
Pak ali : "Dok ini hasilnya kapan jadi?"
Dokter : "Seminggu lagi ya pak"
Pak ali :"Kok lama banget ya dok? Gak bisa lebih cepat?", protesnya dengan nada kesal
Tidak sampai 15 menit, seorang perawat poli, ibu sitha masuk ke kamar pemeriksaan. "Dok, ini pasiennya gelisah, konsulkan psikiatri , saya hubungin ya, nyerah saya"
Dokter: "Boleh banget bu, monggo monggo (silahkan.red) dikonsulin"
Empat puluh menit kemudian si suami dan pasien datang, dan kebetulan ibu sitha ada di dalam.
Perawat : "Ngapain masuk lagi?"
Suami : "Katanya lepas kasa"
Ibu devi :"Saya disuru kesini sejam lagi lepas kasa sama dokter yang itu", sambil senyum ke arah saya
Perawat : "Wes wes belum sejam, tunggu di luar dulu"
Selang waktu berlalu, saya keluar ruangan untuk sekedar melihat suasana ruang sebelah. Baru saja membuka pintu, saya sudah dikagetkan dengan suara dari Perawat, Ibu sitha
Perawat : "Mbak dm itu kasi tau pasiennya mau dikonsulin psikiatri", ucapnya
Pasien tampak marah dan masuk ke ruang yang lain
Saya mengikuti masuk ke ruang itu
Saya : "Halo ibu, gimana bu?", sambil menahan jarak ke Ibu devi, kali-kali dia lagi agresif. Di luar dugaan, ibu devi malah menjawab pertanyaan saya layaknya tidak ada sesuatu yang terjadi "Hehehe, gak apa apa dok, belum diambil ya kasanya?"
Saya : "Bu, nanti ibu ngomong-ngomong dulu ya sama dokter di sebelah, abis itu baruu saya lepas kasanya. Ibu disini aja dulu tidur-tiduran gak apa-apa"
Ibu devi : "Iya dok, saya disini ya dok", ucapnya tersenyum
Saya : "Nanti ibu dicari kesini, jangan kemana-mana ya ibu cantik"
Kemudian saya mengajak bicara keluarganya. Ternyata pasien juga didampingi oleh ibu, anak, kakak pasien, dan beberapa keluarganya lagi.
Dan saya kaget, ternyata mereka belum tahu bahwa ibu devi akan dikonsulkan ke bagian psikiatri
Ibu pasien : "Saya gak ada dikasi tau dok, ini tadi ibu devi abis marah-marah sama ibu itu"
(Keluarga berdiri berjejer mendengarkan dengan seksama)
Ibu pasien : "Iya dia kasar sekali, terus mau pinjam kursi roda disuruh bayar"
Saya : Mmm (mengangguk-angg), "iya bu jadi ini kita konsulkan dulu ke dokter jiwa ya bu. Ini kan penyakitnya ibu ada 2, penyakit kandungan dan penyakit jiwa. Yang kami takutkan penyakit jiwanya menghambat pengobatan penyakit kandungannya, kan kita maunya pengobatannya biar optimal bu"
Ibu : "Makasj makasi dok, ini ibu devi baru 2 hari dok ngacau2 begini"
Saya kaget, karena batas skizofrenia adalah 4 minggu. Jadi kemungkinan pasien ini masih psikotik akut yang prognosisnya jauh lebih baik dari pada skizofrenia. Setelah itu saya menjelaskan prognosis dari gejala psikotik akut yang diderita pasien, yang terbagi menjadi 3 macam, sembuh sempurna, berlanjut menjadi kronik, atau sembuh dengan gejala sisa. Kami juga berbincang-bincang mengenai kanker leher rahim, rencana terapi kami, dan prosedur biopsi yang memang membutuhkan waktu lama untuk meluruskan pandangan suami pasien.
Lalu kami masuk lagi ke ruangan, dan ibu devi terlihat membaca doa
Ibu devi : "Ehh ada dokter cantik, saya lagi sholat dok, kan sekarang lagi sakit supaya dibantu sama gusti allah"
Keluarga pasien : " Bilangnya lagi belajar sholat gitu lo"
Ibu devi : "Hehe iya dok belajar sholat, saya berdarah-darah , harus dekat dengan Allah ya dok biar dapat kesembuhan"
Saya : "Iya bener bu, doa juga penting ya biar dibantu sama yang diatas. Apalagi ini sudah waktunya sholat"
Ibu devi : "Iya dok, sekarang sudah dzuhur. Dokter habis ini kasanya dilepas?"
Keluarga pasien : "Udah jangan diajak ngomong terus , dokternya sibuk", keluarga pasiennya sepertinya sungkan denganku
Saya : "Hehe, gak apa apa bu. Iya nanti setelah omong-omong sama dokter sebelah baru dilepas kasanya ya. Monggo dilanjutin lagi ya bu sholat nya"
Ibu devi :" Makasi banyak dok"
Selesai dikonsulkan ke psikiatri, saya lalu melepas kasa pasiennya, tentu saja pasiennya kooperatif. Ibu , kakak dan anak-anak pasien kompak mengucapkan terima kasih, " Terima kasih banyak dokter sudah ditolong, semoga allah yang balas kebaikan dokter" . Padahal saya tidak melakukan hal yang berarti untuk ibu devi. Penyakitnya masih ada, tetap sama.
Walaupun awalnya sedih karena tidak dapat mencoba melakukan tetapi aku belajar banyak tentang kehidupan dan rasa syukur. Sungguh berat beban yang diderita ibu tersebut, menderita kanker leher rahim di usia yang masih tergolong muda. Aku teringat dengan kata-kata sewaktu menjalani stase psikiatri, "Masalahmu tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah pasien kita. Kita mungkin berpikir mereka menderita gangguan jiwa karena kepribadian yang lemah, tetapi ketahuilah masalah mereka sangat berat , yang mungkin kita juga tidak siap untuk menanggungnya".