"Nessie, kamu punya bakat di bidang art yang sangat tinggi", jelas Ms. Yessica dengan suara yakin. Sontak saja, aku tidak mampu menyembunyikan wajah kagetku mendengar hal yang menurutku mustahil. Mungkin benar kata orang, psikolog yang handal mampu menilai orang dalam hitungan detik, beliau langsung memberiku isyarat untuk mengungkapkan isi pikiranku. Melihat isyarat itu, aku pun dengan cepat menyatakan ketidaksetujuanku , "Bagaimana mungkin Miss, saya tidak bisa menyanyi, menari, bermain musik, ataupun menggambar". Begitulah kira-kira aku mendefinisikan bakat seni, setidaknya orang yang berbakat bisa melakukan salah satunya dengan indah. Sekelumit memori masa kecilku kembali berputar dengan cepat. Aku tidak pernah melakukan satupun dengan indah dan memukau. "Jadi sudah jelas , aku adalah kriteria ekslusi", batinku dalam hati.
Aku dilahirkan sekitar 22 tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di pulau dewata, Tabanan Bali, sebelah barat denpasar. Kota yang menurutku ideal untuk menikmati kehidupan yang seimbang, tidak terlalu bising seperti kota besar, tetapi juga mempunyai akses yang mudah menuju ibu kota provinsi. Beberapa belas tahun yang lalu, kota itu masih sangat asri, pohon-pohon dimana-mana, aku masih bisa mendengar jelas suara kicau burung di pagi hari, dan suara jangkrik ketika senja. Hal yang paling aku rindukan, dulu udaranya sangat nyaman, cukup sejuk untuk menjalani siang yang terik tanpa AC. Masa kecilku nyaris sempurna, kecuali satu hal yang selalu mengusik , aku mempunyai sebuah "Gift" yang membuatku berbeda dari anak-anak yang lain. Sewaktu aku kelas 1 SD, aku berlatih setiap hari di depan cermin berusaha mengucapkan "RRRRRRR". Orang tuaku pun tidak tinggal diam, mamaku memanggilkanku guru private dan menitip pesan untuk melatih vokalku disamping mengajari pelajaran pokok. Ohya, bahkan aku sempat meminum air embun, yang konon bisa membuatku mengucapkan huruf R. Aku menaruh air embun di halaman rumah sebelum tidur, berdoa supaya tidak hujan, dan mengambilnya esok pagi. Tetapi sayang, semua hasilnya nihil, sepertinya "Gift" itu tidak ingin berpisah dariku.
Jika anda pernah mengamati anak-anak TK atau SD dalam bermain, pasti ada 1 pemimpin, beberapa pemberontak, minimal 1 orang terbully, dan sisanya pengikut. Anak yang dibully biasanya memiliki kekurangan fisik, seperti berkulit hitam, bermata sipit, pendek, gagap, dan lain sebagainya. Tentu saja, cadel juga termasuk diantara probelema fisik tersebut. Ejekan merupakan hal lazim yang kuterima sehari-hari, "Hai nessie, coba kamu bilang ular lari lurus", kata mereka. Dengan polosnya aku menirukan "Ulal lali lulus", ucapku tanpa curiga yang sontak membuat mereka tertawa seolah aku adalah lelucon terlucu. Malangnya lagi, bukan hanya teman sepermainan yang menggodaku, orang-orang dewasa, bahkah guruku pun menganggap hal tersebut sebagai "Kelucuan". Sunguh menyedihkan.
Aku tidak pernah menangis ketika diejek,karena aku tahu tak ada gunanya. Jadi aku hanya diam sambil menahan amarah di sekolah. Setiba di rumah, aku akan bercerita tentang hariku di sekolah, dan menyelipkan cerita tentang ejekan itu. Orang tuaku selalu berusaha memberikan dukungan untuk tetap percaya diri. Sebelum aku sering menerima ejekan-ejekan itu, sejatinya aku cukup percaya diri, begitulah mamaku bercerita ketika aku bertanya tentang masa kecilku. Aku selalu angkat tangan pertama ketika diminta bernyanyi, baik di sekolahan, sekolah minggu, maupun acara ulang tahun temanku. Aku hafal hampir semua lagu anak-anak pada jamannya, dan bercita-cita menjadi penyanyi saat aku besar nanti. Aku sering menirukan gaya penyanyi cilik yang kulihat di televisi. Ketika aku selesai bernyanyi, beberapa orang memberi tepuk tangan setengah kasihan, setengah terpaksa, dan sebagain lagi ibu-ibu kasak kusuk mengatakan "iya memang tidak bisa bilang R".
Semakin usiaku bertambah, dengan semakin banyaknya ejekan yang aku terima, rasa percaya diri itu kian luntur, aku enggan untuk tampil di depan umum, apalagi bernyanyi. Aku sadar cita-cita menjadi penyanyi adalah hal yang bodoh, mana mungkin ada penyanyi cadel. Aku memang masih kecil saat itu, tapi aku bisa merasakan kejengkelan ketika diremehkan. Sadar akan keterbatasanku, aku belajar cukup giat untuk menjadi nomor 1 di bidang akademis. Hal yang aku yakinkan, "Mereka tidak akan berani mengejekku lagi", sesedeharna itulah motivasi belajarku saat itu. Motivasi itu tertanam kuat di dalam diriku, sampai-sampai aku tidak ingat jika orang tuaku pernah menyuruhku untuk belajar.
Dengan bantuan doa orang tuaku, dan juga kasih tuhan, aku berhasil menjadi juara 1 saat kelas III SD. Prestasi akademisku relatif stabil hingga lulus SMA. Lama kelamaan aku sudah terbiasa dengan predikat "terpintar", "terbaik", yang membuatku menjadi semakin ambisius. Tak jarang aku mewakili sekolah dalam berbagai kompetisi. Aku cukup senang dengan hasilnya, dan yang penting motivasiku tercapai, jarang ada yang berani mengejek kecadelanku lagi.
Awalnya orang tuaku sangat bangga dengan pencapaianku. Tetapi lama kelamaan, mereka menyadari sesuatu yang tidak beres, akademis dan non akademisku tumbuh tidak seimbang. Di samping itu, aku juga tumbuh menjadi pribadi yang egois. Mereka mulai khawatir dan merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan non akademisku. Karena bernyanyi sudah tidak mungkin, mereka mencari guru private les tari bali. Aku tertarik membayangkan aku akan tampil di depan orang banyak lagi, setelah beberapa tahun aku tidak pernah melakukannya. Aku les private dengan 2 orang temanku, guru les datang ke rumah dua kali dalam seminggu. Dia mengajarkanku dasar-dasar tari, seperti agem kanan , agem kiri. Tari bali itu melibatkan hampir seluruh tubuh, semuanya ada aturannya mulai dari kepala, mata, leher, pinggang, bokong, tangan, hingga kaki. Karena tubuhku bukan tipe tubuh yang lentur, aku mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan tersebut, belum lagi ketika harus menahan satu pose dalam beberapa menit. Sayangnya dia merupakan tipe guru konvesional yang akan main tangan jika aku berbuat salah. Hari les tari bali kemudian berubah menjadi hari yang paling tidak kusukai. Akhirnya aku bilang ke orang tuaku dan meminta untuk berhenti, dengan alasan "Gurunya galak."
Orang tuaku tidak putus asa, kemudian orang tuaku mencarikanku guru private melukis. Gurunya sangat baik, memotivasi , dan pengertian. Sungguh, aku sangat senang sekali. Dia mengajarkanku cara mewarnai yang baik, dan membuatku mempunyai salah satu karya terbaik di kelas. Teman-temanku terheran-heran dengan perubahan gambarku. Setelah tamat SD, aku berhenti les melukis. Di SMP, karya gambarku kembali seperti semula , "rata-rata". Selama les melukis, guruku selalu mencontohkan gambar dan cara mewarnainya, kemudian aku tinggal meniru.
Karena aku dibesarkan di kota kecil, aku tidak pernah mempunyai kesempatan untuk belajar bermain musik. Tetapi kecadelanku, kegagalanku belajar melukis dan menari bali sudah cukup membuktikan aku tidak mempunyai bakat seni, titik. Akupun menyerah karena kupikir waktuku hanya akan sia-sia. Selama masa SMP dan SMA, aku hanya fokus di pelajaran sekolah, sempat ingin mencoba belajar membuat puisi tetapi langsung ku urungkan niatku. Seorang cadel tidak mungkin bisa berpuisi dengan baik. Syukurnya, aku mulai bisa beradaptasi dengan kekuranganku, setidaknya aku tidak benci dan kesal ketika teman-teman menggodaiku. Aku hanya tertawa atau kadang menggodai mereka balik. Aku merasa hidupku lebih baik.
Tibalah momen untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memilih jurusan kedokteran dengan kemauanku sendiri. Saat ini aku sedang menjalani masa-masa koas. Aku menempuh studi pendidikan dokter di salah satu universitas ternama di Indonesia. Ya, aku bersyukur aku bisa lolos seleksinya yang kata orang cukup ketat. Terkadang jika aku mengingat ejekan "menyakitkan" itu, aku merasa bersyukur. Masih jelas dalam ingatakanku, dulu satu-satunya motivasiku untuk belajar adalah supaya tidak diejek. Aku tidak bisa membayangkan , apa jadinya jika aku tidak mempunyai gift tersebut, bakal semalas apa aku, mungkin aku tidak akan lolos di universitasku sekarang. Hingga kini, aku masih memegang prinsip masa kecilku, tetapi kini aku modifikasi sedikit, "Karena aku berbeda dari mereka, karena tuhan menitipkan sebuah "Gift" padaku, jadi aku harus berusaha lebih keras" .
Ucapan Ms.Yessica menghadirkan kembali suka duka masa kecilku. Ms. Yessica kemudian menjelaskan bahwa dari hasil test aku memiliki lower conformity , scoreku -20 dari rentang +32 hingga -32. "Nessie, kamu orang yang fleksibel, easygoing, dan toleransimu terhadap perbedaan, ide baru sangat tinggi. Tipe kepribadian ini mempunyai art sense yang tinggi." . Dalam hati, aku berucap, "Bagaimana saya bisa tidak mentoleransi perbedaan, saya saja sudah berbeda dari orang lain". Setelah menarik nafas dengan santai, beliau kembali melanjutkan , "Kreativitas ini perlu diwadahi, perlu kamu gali, supaya bisa meningkatkan energy levelmu." Akupun tidak tahan untuk tidak bercerita bagaimana kegagalanku belajar menari dan melukis. Beliau menanggapi dengan sangat tepat dan to the point, "Kamu tidak suka tari bali karena di tari bali kamu diharuskan untuk mengikuti banyak aturan , menyesuaikan gerakanmu dengan hitungannya, sehingga kamu tidak bisa berkreasi dengan bebas, padahal yang kamu suka adalah berkreasi". Aku mengangguk, tanda setuju terhadap penjelasannya.
Beliau kemudian menanyakan aktivitasku, dan aku menceritakan tentang kehidupan koasku. Iseng-iseng aku juga bercerita tentang side jobku sebagai marketing villa orang tuaku, dan aku mengatakan aku suka membayangkan rumah impinanku, villa yang menurutku sempurna dipikiranku. "Tetapi sayangnya saya tidak bisa menggambar Miss, jadi hanya gambaran di kepala saja.", ujarku sambil setengah bercanda. Di luar dugaan, beliau menanggapinya dengan serius , "Art itu bukan hanya tentang menggambar, bernyanyi,atau bernari. Art itu sesuatu yang lebih kompleks mengenai tentang ide, inovasi , dan kreativitas. Jika kamu tidak bisa menggambar, kamu bisa saja menyewa orang untuk menggambarkan imajinasimu dan kemudian mewujudkannya menjadi proyek yang nyata. Banyak hal yang merupakan art di kehidupan sehari-hari, dari mix and match pakaian sampai menciptakan kreasi kue baru, itu semua bagian dari art" .
Selama ini, dengan bodohnya, aku mengurung diriku di dalam rumah yang sempit tanpa jendela dan tidak mengijinkan diriku pergi ke luar rumah. "Aku tidak bisa bernyanyi, menggambar, dan menari.", itulah hal yang berulang kali aku yakinkan ke alam bawah sadar selama bertahun-tahun. Aku menggeser semua tentang art dari mimpiku. Sunggu, aku merasa malu, tidak cukup mengerti tentang diri sendiri. Alih-alih berusaha mengembangkan diri, aku malah mengjudge diriku sendiri bahwa aku tidak bisa. Hingga aku menjalani deep conversation di sabtu pagi yang membuka mataku. Pikiranku terlalu sempit dan judgemental tentang "ART". Bahwa pada hakikatnya bakat itu bukan dilahirkan tetapi berkembang melalui sebuah proses yang tidak instan.
Aku pergi beranjak ke suatu cafe yang tak jauh dari situ. Cafe tersebut cukup unik, menawarkan konsep vintage, yang bisa terlihat jelas dari warna temboknya seperti coklat tanah dan lantainya yang memakai ubin koleksi jaman kuno. Saat itu, hanya ada beberapa pengunjung, termasuk aku. Tempat yang pas untuk mencari ketenangan dan inspirasi. Hatiku mendadak gelisah, umurku sudah bukan belasan lagi, aku bukan anak SMA , yang berarti waktuku sudah tidak lama untuk mengexplore diri. "Tidakkah sudah terlambat untuk mengexplore art senseku?", pikiranku itu terlintas di benakku. Seketika langsung aku buang jauh pikiran judgemental itu, oh tidak, aku tidak mau jatuh di lubang yang sama, tidak untuk kedua kalinya.
Aku memesan hot green tea sebagai temanku sore ini. Beberapa kali aku mengecek hpku, tidak ada email yang harus dibalas. Aku berusaha merekam hal seni apa saja yang pernah aku lakukan, sekecil apapun itu. Aku tulis secara acak di kertas yang sudah tidak usang. Beberapa ide berlompatan di kepalaku, aku tersenyum sambil meneguk teh yang sudah mulai dingin "Aku tahu harus mulai dari mana." , bisikku dalam hati. Being late is better than never
Cheers,
Nessie
PS : the article is originally written by me. However all pictures are not mine, they are taken from google.