Halaman

Sabtu, 26 Desember 2015

Don't Judge Yourself

"Nessie, kamu punya bakat di bidang art yang sangat tinggi", jelas Ms. Yessica dengan suara yakin. Sontak saja, aku tidak mampu menyembunyikan wajah kagetku mendengar hal yang menurutku mustahil. Mungkin benar kata orang, psikolog yang handal mampu menilai orang dalam hitungan detik, beliau langsung memberiku isyarat untuk mengungkapkan isi pikiranku. Melihat isyarat itu, aku pun dengan cepat menyatakan ketidaksetujuanku , "Bagaimana mungkin Miss, saya tidak bisa menyanyi, menari, bermain musik, ataupun menggambar". Begitulah kira-kira aku mendefinisikan bakat seni, setidaknya orang yang berbakat bisa melakukan salah satunya dengan indah. Sekelumit memori masa kecilku kembali berputar dengan cepat. Aku tidak pernah melakukan satupun dengan indah dan memukau. "Jadi sudah jelas , aku adalah kriteria ekslusi", batinku dalam hati.

Aku dilahirkan sekitar 22 tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di pulau dewata, Tabanan Bali, sebelah barat denpasar. Kota yang menurutku ideal untuk menikmati kehidupan yang seimbang,  tidak terlalu bising seperti kota besar, tetapi juga mempunyai akses yang mudah menuju ibu kota provinsi. Beberapa belas tahun yang lalu, kota itu masih sangat asri, pohon-pohon dimana-mana, aku masih bisa mendengar jelas suara kicau burung di pagi hari, dan suara jangkrik ketika senja. Hal yang paling aku rindukan, dulu udaranya sangat nyaman, cukup sejuk untuk menjalani siang yang terik tanpa AC. Masa kecilku nyaris sempurna, kecuali satu hal yang selalu mengusik , aku mempunyai sebuah "Gift" yang membuatku berbeda dari anak-anak yang lain. Sewaktu aku kelas 1 SD, aku berlatih setiap hari di depan cermin berusaha mengucapkan "RRRRRRR". Orang tuaku pun tidak tinggal diam, mamaku memanggilkanku guru private dan menitip pesan untuk melatih vokalku disamping mengajari pelajaran pokok. Ohya, bahkan aku sempat meminum air embun, yang konon bisa membuatku mengucapkan huruf R. Aku menaruh air embun di halaman rumah sebelum tidur, berdoa supaya tidak hujan, dan mengambilnya esok pagi. Tetapi sayang, semua hasilnya nihil, sepertinya "Gift" itu tidak ingin berpisah dariku.

Jika anda pernah mengamati anak-anak TK atau SD dalam bermain, pasti ada 1 pemimpin, beberapa pemberontak, minimal 1 orang terbully, dan sisanya pengikut. Anak yang dibully biasanya memiliki kekurangan fisik, seperti berkulit hitam, bermata sipit, pendek, gagap, dan lain sebagainya. Tentu saja, cadel juga termasuk diantara probelema fisik tersebut. Ejekan merupakan hal lazim yang kuterima sehari-hari, "Hai nessie, coba kamu bilang ular lari lurus", kata mereka. Dengan polosnya aku menirukan "Ulal lali lulus", ucapku tanpa curiga yang sontak membuat mereka tertawa seolah aku adalah lelucon terlucu. Malangnya lagi, bukan hanya teman sepermainan yang menggodaku, orang-orang dewasa, bahkah guruku pun menganggap hal tersebut sebagai "Kelucuan". Sunguh menyedihkan.

Aku tidak pernah menangis ketika diejek,karena aku tahu tak ada gunanya. Jadi aku hanya diam sambil menahan amarah di sekolah. Setiba di rumah, aku akan bercerita tentang hariku di sekolah, dan menyelipkan cerita tentang ejekan itu. Orang tuaku selalu berusaha memberikan dukungan untuk tetap percaya diri. Sebelum aku sering menerima ejekan-ejekan itu, sejatinya aku cukup percaya diri, begitulah mamaku bercerita ketika aku bertanya tentang masa kecilku. Aku selalu angkat tangan pertama ketika diminta bernyanyi, baik di sekolahan, sekolah minggu, maupun acara ulang tahun temanku. Aku hafal hampir semua lagu anak-anak pada jamannya, dan bercita-cita menjadi penyanyi saat aku besar nanti. Aku sering menirukan gaya penyanyi cilik yang kulihat di televisi. Ketika aku selesai bernyanyi, beberapa orang memberi tepuk tangan setengah kasihan, setengah terpaksa, dan sebagain lagi ibu-ibu kasak kusuk mengatakan "iya memang tidak bisa bilang R".

Semakin usiaku bertambah, dengan semakin banyaknya ejekan yang aku terima, rasa percaya diri itu kian luntur, aku enggan untuk tampil di depan umum, apalagi bernyanyi. Aku sadar cita-cita menjadi penyanyi adalah hal yang bodoh, mana mungkin ada penyanyi cadel. Aku memang masih kecil saat itu, tapi aku bisa merasakan kejengkelan ketika diremehkan. Sadar akan keterbatasanku, aku belajar cukup giat untuk menjadi nomor 1 di bidang akademis. Hal yang aku yakinkan, "Mereka tidak akan berani mengejekku lagi", sesedeharna itulah motivasi belajarku saat itu. Motivasi itu tertanam kuat di dalam diriku, sampai-sampai aku tidak ingat jika orang tuaku pernah menyuruhku untuk belajar.

Dengan bantuan doa orang tuaku, dan juga kasih tuhan, aku berhasil menjadi juara 1 saat kelas III SD. Prestasi akademisku relatif stabil hingga lulus SMA. Lama kelamaan aku sudah terbiasa dengan predikat "terpintar", "terbaik", yang membuatku menjadi semakin ambisius. Tak jarang aku mewakili sekolah dalam berbagai kompetisi. Aku cukup senang dengan hasilnya, dan yang penting motivasiku tercapai,  jarang ada yang berani mengejek kecadelanku lagi.

Awalnya orang tuaku sangat bangga dengan pencapaianku. Tetapi lama kelamaan, mereka menyadari sesuatu yang tidak beres, akademis dan non akademisku tumbuh tidak seimbang. Di samping itu, aku juga tumbuh menjadi pribadi yang egois. Mereka mulai khawatir dan merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan non akademisku. Karena bernyanyi sudah tidak mungkin, mereka mencari  guru private les tari bali. Aku tertarik membayangkan aku akan tampil di depan orang banyak lagi, setelah beberapa tahun aku tidak pernah melakukannya. Aku les private dengan 2 orang temanku, guru les datang ke rumah dua kali dalam seminggu. Dia mengajarkanku dasar-dasar tari, seperti agem kanan , agem kiri. Tari bali itu melibatkan hampir seluruh tubuh, semuanya ada aturannya mulai dari kepala, mata, leher, pinggang, bokong, tangan, hingga kaki. Karena tubuhku bukan tipe tubuh yang lentur, aku mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan tersebut, belum lagi ketika harus menahan satu pose dalam beberapa menit. Sayangnya dia merupakan tipe guru konvesional yang akan main tangan jika aku berbuat salah. Hari les tari bali kemudian berubah menjadi hari yang paling tidak kusukai. Akhirnya aku bilang ke orang tuaku dan meminta untuk berhenti, dengan alasan "Gurunya galak."

Orang tuaku tidak putus asa, kemudian orang tuaku mencarikanku guru private melukis. Gurunya sangat baik, memotivasi , dan pengertian. Sungguh, aku sangat senang sekali. Dia mengajarkanku cara mewarnai yang baik, dan membuatku mempunyai salah satu karya terbaik di kelas. Teman-temanku terheran-heran dengan perubahan gambarku. Setelah tamat SD, aku berhenti les melukis. Di SMP, karya gambarku kembali seperti semula , "rata-rata". Selama les melukis, guruku selalu mencontohkan gambar dan cara mewarnainya, kemudian aku tinggal meniru. 

Karena aku dibesarkan di kota kecil, aku tidak pernah mempunyai kesempatan untuk belajar bermain musik. Tetapi kecadelanku, kegagalanku belajar melukis dan menari bali sudah cukup membuktikan aku tidak mempunyai bakat seni, titik. Akupun menyerah karena kupikir waktuku hanya akan sia-sia. Selama masa SMP dan SMA, aku hanya fokus di pelajaran sekolah, sempat ingin mencoba belajar membuat puisi tetapi langsung ku urungkan niatku. Seorang cadel tidak mungkin bisa berpuisi dengan baik. Syukurnya, aku mulai bisa beradaptasi dengan kekuranganku, setidaknya aku tidak benci dan kesal ketika teman-teman menggodaiku. Aku hanya tertawa atau kadang menggodai mereka balik. Aku merasa hidupku lebih baik. 

Tibalah momen untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memilih jurusan kedokteran dengan kemauanku sendiri. Saat ini aku sedang menjalani masa-masa koas. Aku menempuh studi pendidikan dokter di salah satu universitas ternama di Indonesia. Ya, aku bersyukur aku bisa lolos seleksinya yang kata orang cukup ketat. Terkadang jika aku mengingat ejekan "menyakitkan" itu, aku merasa bersyukur. Masih jelas dalam ingatakanku, dulu satu-satunya motivasiku untuk belajar adalah supaya tidak diejek. Aku tidak bisa membayangkan , apa jadinya jika aku tidak mempunyai gift tersebut, bakal semalas apa aku, mungkin aku tidak akan lolos di universitasku sekarang. Hingga kini, aku masih memegang prinsip masa kecilku, tetapi kini aku modifikasi sedikit, "Karena aku berbeda dari mereka, karena tuhan menitipkan sebuah "Gift" padaku, jadi aku harus berusaha lebih keras" . 

Ucapan Ms.Yessica menghadirkan kembali suka duka masa kecilku. Ms. Yessica kemudian menjelaskan bahwa dari hasil test aku memiliki lower conformity , scoreku -20 dari rentang +32 hingga -32. "Nessie, kamu orang yang fleksibel, easygoing, dan toleransimu terhadap perbedaan, ide baru sangat tinggi. Tipe kepribadian ini mempunyai art sense yang tinggi." . Dalam hati, aku berucap, "Bagaimana saya bisa tidak mentoleransi perbedaan, saya saja sudah berbeda dari orang lain". Setelah menarik nafas dengan santai, beliau kembali melanjutkan , "Kreativitas ini perlu diwadahi, perlu kamu gali, supaya bisa meningkatkan energy levelmu." Akupun tidak tahan untuk tidak bercerita bagaimana kegagalanku belajar menari dan melukis. Beliau menanggapi dengan sangat tepat dan to the point, "Kamu tidak suka tari bali karena di tari bali kamu diharuskan untuk mengikuti banyak aturan , menyesuaikan gerakanmu dengan hitungannya, sehingga kamu tidak bisa berkreasi dengan bebas, padahal yang kamu suka adalah berkreasi". Aku mengangguk, tanda setuju terhadap penjelasannya.

Beliau kemudian menanyakan aktivitasku, dan aku menceritakan tentang kehidupan koasku. Iseng-iseng aku juga bercerita tentang side jobku sebagai marketing villa orang tuaku, dan aku mengatakan aku suka membayangkan rumah impinanku, villa yang menurutku sempurna dipikiranku. "Tetapi sayangnya saya tidak bisa menggambar Miss, jadi hanya gambaran di kepala saja.", ujarku sambil setengah bercanda. Di luar dugaan, beliau menanggapinya dengan serius , "Art itu bukan hanya tentang menggambar, bernyanyi,atau bernari. Art itu sesuatu yang lebih kompleks mengenai tentang ide, inovasi , dan kreativitas. Jika kamu tidak bisa menggambar, kamu bisa saja menyewa orang untuk menggambarkan imajinasimu dan kemudian mewujudkannya menjadi proyek yang nyata. Banyak hal yang merupakan art di kehidupan sehari-hari, dari mix and match pakaian sampai menciptakan kreasi kue baru, itu semua bagian dari art" .

Selama ini, dengan bodohnya, aku mengurung diriku di dalam rumah yang sempit tanpa jendela dan tidak mengijinkan diriku pergi ke luar rumah. "Aku tidak bisa bernyanyi, menggambar, dan menari.", itulah hal yang berulang kali aku yakinkan ke alam bawah sadar selama bertahun-tahun. Aku menggeser semua tentang art dari mimpiku. Sunggu, aku merasa malu,  tidak cukup mengerti tentang diri sendiri. Alih-alih berusaha mengembangkan diri, aku malah mengjudge diriku sendiri bahwa aku tidak bisa. Hingga aku menjalani deep conversation di sabtu pagi yang membuka mataku. Pikiranku terlalu sempit dan judgemental tentang "ART". Bahwa pada hakikatnya bakat itu bukan dilahirkan tetapi berkembang melalui sebuah proses yang tidak instan.

Aku pergi beranjak ke suatu cafe yang tak jauh dari situ. Cafe tersebut cukup unik, menawarkan konsep vintage, yang bisa terlihat jelas dari warna temboknya seperti coklat tanah dan lantainya yang memakai ubin koleksi jaman kuno. Saat itu, hanya ada beberapa pengunjung, termasuk aku. Tempat yang pas untuk mencari ketenangan dan inspirasi. Hatiku mendadak gelisah, umurku sudah bukan belasan lagi, aku bukan anak SMA , yang berarti waktuku sudah tidak lama untuk mengexplore diri. "Tidakkah sudah terlambat untuk mengexplore art senseku?", pikiranku itu terlintas di benakku. Seketika langsung aku buang jauh pikiran judgemental itu, oh tidak, aku tidak mau jatuh di lubang yang sama, tidak untuk kedua kalinya.

Aku memesan hot green tea sebagai temanku sore ini. Beberapa kali aku mengecek hpku, tidak ada email yang harus dibalas. Aku berusaha merekam hal seni apa saja yang pernah aku lakukan, sekecil apapun itu. Aku tulis secara acak di kertas yang sudah tidak usang. Beberapa  ide berlompatan di  kepalaku, aku tersenyum sambil meneguk teh yang sudah mulai dingin "Aku tahu harus mulai dari mana." , bisikku dalam hati. Being late is better than never

Cheers,


Nessie

PS : the article is originally written by me. However all pictures are not mine, they are taken from google. 



Sabtu, 05 September 2015

Dokter atau Pengusaha?

Yang mana yang lebih keren? Berjas eksekutif atau berjas putih? Tentu sudah pasti banyak perbedaan jawaban di antara kita dengan argumen masing-masing. Tenang saja, tulisan ini tidak akan membahas yang mana yang lebih keren kok :)
 
Saya peruntukkan tulisan ini bagi adik-adikku pelajar putih abu yang masih bingung mengambil jurusan apa dan juga orang tua yang mungkin berpikir salah satu profesi akan berprospek lebih cerah.

Semua profesi pada dasarnya baik, kesuksesan itu tergantung dari individu yang menjalaninya. Kesuksesan di setiap profesi mempunyai standar yang beda-beda ala profesinya sendiri yang tidak mungkin bisa dibandingkan secara head to head. Kalau kita ambil secara sedeharna, 

Hasil = Nasib/keberuntungan + usaha + passion

Sayangnya ketiga unsur tersebut tidak bisa dimatematikakan secara gamblang, mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika kita tidak punya cukup passion, kita bisa saja berusaha dengan sangat baik, tetapi tidak akan pernah memberikan usaha terbaik kita.

Sekarang kita akan fokus di passion antara dunia bisnis dan dunia medis. Mungkinkan orang mempunyai passion di keduanya? Mungkin, tetapi menurut saya pasti ada yang lebih dominan.
Berhubung ini baru selesai stase psikiatri, jadi kita akan bahas dari pendekatan psikiatri (ala ilmu kedokteran jiwa) , sekalian promosi kalau ilmu psikiatri itu luas sekali dan bukan hanya menangani masalah skizofrenia.

Setiap manusia adalah makhluk bio psiko sosia kultural, yang menjadi kesatuan dan saling berinteraksi. Passion kita juga dipengaruhi oleh  kombinasi tersebut, genetik kita, pengalaman masa lalu, lingkungan, hingga bagaimana budaya dan masyarakat menjudge suatu minat dan profesi. Jadi tidak jarang di masyarakat kita melihat fenomena "buah yang tidak jatuh jauh dari pohonnya" . Konon jika kedua orang tuanya dokter, maka anaknya dokter, menantu juga dokter, bahkan iparnya pun juga dokter.  

Dan menurut saya ada perbedaan yang bermakna dari ciri kepribadian seorang dokter dengan pengusaha. Seorang dokter dituntut mengerjakan segala sesuatu  mendekati sempurna, karena nyawalah taruhannya. Pendidikannya sudah membentuk pola pikirnya menjadi seseorang yang teliti, hati-hati, detail oriented, rapi, dan perfeksionis. Pengambilan keputusan dilakukan dengan terstruktur ala dokter dan alasan-alasan ilmiah serta referensi yang valid. Obat baru membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa dijual ke pasaran. 

Hal ini akan membentuk ciri kepribadian anankastik (bukan gangguan kepribadian) yang kurang lebih meliputi kehati-hatian, detail oriented, taat aturan, perfeksionisme, dan ketetikatan pada kebiasaan sosial. 

Lalu bagaimana dengan pengusaha? Kecepatan adalah prioritas, membaca peluang, mempertimbangkan risiko dengan cepat , lalu keputusan langsung diambil. Karena pertimbangan yang lama sama dengan sebuah kegagalan. Tuntutan persaingan yang blak blakan membuat iklim kompetisi menjadi sangat ketat sehingga kadang kala kehati-hatian  dinomorduakan. Tidak mengherankan, jika pengusaha yang sudah sangat sukses, bisa saja bangkrut dalam sekejap. 

Seorang pengusaha tidak hanya cukup kreatif tetapi juga harus adaptable dengan berbagai macam keadaan, dari partner bisnis yang super cerewet, ketus, sampai yang pelit omong.  Jiwa persuasif yang tinggi adalah salah satu kunci keberhasilan seorang pengusaha. Disini salah satu  letak perbedaan yang mendasar dunia medis dan dunia bisnis. Dunia medis ilmiah yang baik tidak akan mempersuasi pendengarnya, tetapi memberikan analisa data sekurat mungkin. 

Pengusaha juga pasti mempunyai banyak karyawan untuk membuat usahanya membesar. Mereka harus percaya dengan bawahannya, karena mereka tahu mereka tidak mampu melakukan semuanya sendiri. Tugas harus didelegasikan. 

Pernah gak sih berpikir orang medis bisa menjadi orang bisnis tetapi orang bisnis tidak bisa menjadi orang medis? Iya ,dulu saya pernah. Seorang pengusaha tidak mesti kuliah bisnis tetapi seorang dokter wajib kuliah kedokteran.
Saya pikir, dengan intelektual yang tinggi dimiliki dokter, manajemen waktu yang biasanya cukup baik (seorang koas bekerja hampir 32 jam) ditambah dengan gemblengan yang cukup keras di bangku kuliah, saya rasa tidak susah seorang dokter juga bisa sukses di dunia bisnis.
Tapi itu dulu,

Sekarang saya berpikir, pengusaha hebat tidak bisa menjadi dokter hebat dan dokter hebat "mungkin" tidak bisa menjadi pengusaha hebat. Karena mereka memiliki kehebatannya masing-masing, pola pikir yang sudah sangat berbeda yang tidak bisa diswitch dengan mudahnya. Hanya orang luar biasa yang bisa melakoni kedua profesi itu dengan sama hebatnya.  

Sering kan melihat bahwa pemegang saham terbesar rumah sakit bukan dokter? Manajemen ekonomi rumah sakit diatur oleh bukan dokter? Mungkin modal dokter kalah dengan pengusaha? NO! Mungkin dokter terlalu sibuk sehingga tidak sempat? May be, tetapi pengusaha dengan puluhan perusahaan juga sibuk. 

Mereka dilahirkan dan dibesarkan di dunia yang berbeda. 

Jadi.....Ikuti kata hati dan passion kalian, karena hanya dengan begitu kita bisa memberikan usaha terbaik kita. Masyarakat mungkin berpikir profesi dokter lebih mulia, tetapi bukankah masih banyak jalan untuk berbuat  baik? Tingginya keegoan dan kebanggan terhadap profesi hanya akan membuat kita tertinggal dari cepatnya perubahan dunia.

Cheers,

Nessie

Rabu, 18 Maret 2015

Kamu :(

Mobil harus selalu maju 
Jika ingin cepat tiba di tujuan
Ada spion di samping untuk menoleh 
Tetapi hanya sebentar

Ketika ku melirik kesana,
Kulihat kamu disitu 
Berdiri,
Tersenyum dengan senyum termanismu

Kenangan kembali menyapa di senjaku yg sepi
Memanggilku di ruang mimpi
Dan terbesit ketika mentari membangunkanku

Terlalu susah untuk terus maju,
Ketika memori itu kembali
Senyum, tawa, canda

Hai kamu yang disana,
Apa kamu merasakan hal yang sama? 

Apapun dan bagaimanapun sekarang
Mobil tetaplah harus berjalan maju
Kadang hal terjadi bukan untuk ada di masa depan
Tetapi sebagai kenangan yang buat kita punya cerita






Sabtu, 24 Januari 2015

The First Month of My Holiday

Hi everyone !!!

It has been more than 3 months since the last time i posted in my blog.

24 Dec - 18 January 2015

I felt rather tired nowdays. Basically i love challenge, but this was just too big. I should able to handle things by my self that i never learn  before. Actually, i worked in a team, but i was the only one who handle in the marketing. Unfortunately, due to the change of management, nobody guided me. I was stressed out, long working hours in each day and repeated again in the next day. 

When i have a test in college,
I might be failed, 
But it's simple,
I only need to take the remidial
I am glad that 
nobody will experience any bad effect. 

But now i found my self working not only for me, but also for my mom, dad , my team and their family. I hated the slow progression. For the first time in my life, i was becoming very cheerful when monday came. 

Anyway, I met with many extraordinary people. My mom  had told that one of our consultant (Mr. M ) is a chef, spa trainee, accountant, yoga practitioner, and also the expert in marketing. At that time , i said, "Mom, do you think is it true?  I don't believe it"

Until i met with him directly, and i concluded he wasn't a usual person. Yes, simply from the way he shaked my hand and introduced himself. In the fact, he is a motivator too. Wow, greater than i could imagine. 

Usual people (like me) never believe there are very multitalented people in this world.
Because, 
We compare them with ourselves. 

20 January-24 January

During working, i made some mistakes. In every mistake i made, i promise to my self that one mistake must bring change to the system. 

My work is outside my major, but i really love it. I love the daily activity, how should i dress , how should i act, and how should i speak. Although i felt stressed at the beginning, but i think it still was eustress . This world really suits to me,  three things needed 1) Speed  2) Consistency  3) Creativity

W Group people will say , " It's very useless to study in your major but finally you work like this. Your work must be as same as your major"

But i feel lucky, i also meet with the R Group People. One of them said , "Working outside of your major will make you become different than others. If you really focused on your work, you will have more fresh ideas" 

I learn much things that school never tell me. I have correspondence with many important people around the world, negotiated with them. To be honest, my english is not too good, but the situation forced me to write formal business letter, do complaint or ask something in english with important people . At this moment, i feel lucky, i have experienced this.

Someone ask me about my dream.

A   :What's your dream? do you have it?
Me : Yes Sure, actually i am a dreamer.
A    : what are they? 
Me : too many i think
A.   :What have you done to reach your dream? What's your strategy? Do you have schedule for it?
Me  : No, i don't have any. My target is very simple, i just don't want to pass one day without one new experience ( even the little one) . But i  often failed to fulfill my target. 

One month has been passed since my first working day (241214) , i have made a deal with one of the biggest dealsite in Aussie . I am still waiting for the rundates and hope everything run well. Thank you God, Universe, and EveryLovelyPeople in this world.......

It is truly the most enjoyable holiday in my LIFE :) 

Cheers,

Nessie
Renesie.blogspot.com