Halaman

Jumat, 15 September 2017

Terima Kasih dan Maaf

Dia datang bukan ditakdirkan untuk hidup denganmu

Terkadang Tuhan mengirimkannya untuk maksud yang lain

Membuka mata kita bahwa kita layak dicintai seutuhnya
Mengembalikan rasa percaya diri yang pernah hancur
Menjadi pelipur lara di saat tangis ini tak terbendung
Memberi bukti bahwa cinta itu mulia adanya

Dia yang dikirim Tuhan untuk meninggikan standarmu

Untuk coretan warna warni yang kau lukis
Untuk setiap sajak puisi yang kau tulis
Untuk nasehat tentang pelajaran hidup
Untuk kesabaran dan ketekunanmu dalam mengejar 
Terima kasih dan maaf kuucapkan

Minggu, 27 Agustus 2017

Mengapa harus soal uang?

Di siang hari yang terik, tidak sengaja aku bertemu dengan saudara jauh di salah satu pusat perbelanjaan. Mengikuti adat budaya timur, sebagai yang lebih muda, aku menyapanya atas dasar rasa hormat. Tante itu agak kaget, tidak menyangka bertemu denganku. 


Dia membalas sapaanku lalu bertanya, 

X : Wah sudah mau lulus ya, mau ambil spesialis apa? 

Me : belum tau tante

X : ambil spesialis xxxx aja uangnya banyak banget. Cuma omong bentar bayarannya mahal

Me : -_- (pura-pura tersenyum) 


Jujur hati kecil saya marah mendengar kata-kata itu. Otak saya berusaha melakukan rasionalisasi, "Apa hanya saya yang kurang suka mendengar pernyataan itu?", atau saya yang terlalu sensitif 


Memilih jurusan spesialis ibarat mengikuti passion dan kata hati. Perjuangan sekolah dokter saja sudah berat, percayalah sekolah spesialis jauh lebih berat. Setidaknya itulah yang dapat saya simpulkan dari pengalaman dua tahun menjadi dokter muda. Datang sebelum subuh, pulang setelah mahgrib, jaga 3x seminggu (sering kali lebih) , tugas yang berjibun hingga mengorbankan waktu untuk diri sendiri maupun keluarga. Tidak ada jatah cuti, jatah sakit, libur semester. Dan satu lagi, tidak ada hari libur! Tanggal merah dan hari raya tetap masuk lebih-lebih untuk junior. Belum lagi panggilan cito yang bisa datang kapan saja dan tidak kenal waktu. 

Perjuangan yang butuh kerja keras, kesabaran, komitmen, dan PASSION. Jelas bukan sesuatu yang bisa diputuskan karena soal uang. 


Saya lahir di keluarga dengan background ekonomi, menjadi dokter adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya. Sungguh sedih rasanya ketika melihat mama papa sakit, tetapi tidak ada yang bisa saya perbuat. Keluarga saya  buta dengan dunia kesehatan, setiap sakit akan selalu dilanda kebingungan. Saya juga mempunyai daftar panjang riwayat penyakit keluarga dari hipertensi, diabetes, penyakit jantung, glaukoma, hingga stroke. Dengan saya menjadi dokter, saya ingin membuka wawasan saya dan keluarga tentang dunia medis. Cita-cita saya bisa membantu orang lain mulai dari keluarga terdekat hingga masyarakat (amin) untuk mengedukasi dan semoga bisa memberikan terapi yang paripurna


Salahkah saya tersinggung jika ada yang berkata menjadi dokter demi uang? 

Saya pernah bilang ke orang tua saya,  saya ingin jadi kaya (amin) , tetapi bukan dari profesi dokter. Biarlah profesi ini menjadi sarana untuk memenuhi rasa haus saya akan dunia medis, membantu meluruskan persepsi orang tentang mitos kesehatan yang tidak benar, dan melihat lebih banyak orang tersenyum.  


Bukan berarti saya tidak ingin dibayar. Semua hal di abad 21 membutuhkan uang termasuk  dokter yang butuh uang untuk hidup layak seperti profesi lain. Yang saya inginkan, nantinya jasa saya tidak memberatkan pasien, cukup sesuai kemampuan finansialnya. 


Karena dokter dan bisnis adalah dua dunia yang sangat berbeda. 

Jelas dari awal harus ada tembok pembatas di antara mereka

Sabtu, 17 Juni 2017

Mampukah kita berbakti pada orang tua?

"Berbaktilah pada orang tua", nasehat yang familiar kita dengarkan dari kita belia, namun praktiknya sangat sulit. 

Karena menghormati....
Tidak hanya dengan mengupload foto bersamanya di social media
Tidak cukup dengan mencium tangannya
Tidak sekedar meminta doa dan restu
Bukan soal membanggakannya di saat dia berjaya

Cerita lain soal hati dan ketulusan
Yang tidak terbatas pada norma sosial
Bukan berdasar suatu keharusan
Bukan karena takut dosa
Bukan semata ingin memiliki nama baik 

Semua kian jelas di hari tuanya
Ketika,
Rambutnya mulai memutih
Langkahnya memendek
Ketegasan wajahnya kian sirna
Tangannya mulai gemetar
Ingatannya sudah tidak seperti dulu
Dan dia mulai menggantungkan hidupnya

Layaknya ombak, waktupun terus bergulir
Dia yang kini tanpa kuasa
Tanpa kekuatan
Hanya bisa duduk diam terpaku
Menanti ada orang menyapanya
Mampukah kita berbakti padanya?

"Saya sibuk"
"Saya tidak punya waktu"
"Bisnisku sungguh menyita waktu"
Yang tulus berbakti tidak akan pernah mengatakan seperti itu

Terima kasih Papa sudah menunjukkan padaku rasa cinta kasih tulus kepada orang tua.
Semoga aku bisa berbakti pada papa mama di saat giliranku tiba nanti

Jumat, 09 Desember 2016

My Body Journey, Don't Let the Bad Genes Stopping You

Hello again! How are you? Hope your day is good :) . Now i want to share about my journey in learning thing that i was not good at, sport. Up and Down. 

I often hear that genetic is just about 1% to determine our success. In other side, i strongly believe that good gene make the process a lot easier. Unfortunately, i don't have good gene in body flexibility. My body was so stiff . My school friends know exactly how bad i was in almost all sports. I struggled harder than anybody else but i got failed. At that time, i passed in sport just because of my teacher's mercy. On the other hand, my academic was above average. I couldn't remember how many times "people" judged me regarding the imbalance between my academic and non academic field.  I understood the point of their tought, but please i also didn't want it. I thought that everything was out of my control. In high shool i often imagined how beautiful the college life will be, there's no sport subject anymore. I will never feel as this bad. 


When i was in the third year at the college, my weight increased significantly. It was a big trouble for me, then i decided to go to gym for the first time in my life. I tried many machines and classes, aerobic, body pump, zumba class, weight lifting.  I fall in love with yoga and pilates although the fact that my body was not flexible at all. To get more focused, i moved to yoga & pilates centre. At that time, i was the student with the most inflexible body. I often did the wrong pose. My teachers are very detailed and attentive. They know when i do  wrong , even just a little. Pilates and yoga are sports that focused on the breath. Once we don't breath, we won't be able to do the right pose. Both of them also require the strong abdmonial muscle, unless our  spinal column will get injured. Many of my classmates that joined later than me able to do the right pose faster. I felt so sad, luckly my teacher always remind me that yoga/pilates is not about competition. We do it for our own health and wellness.  I learn to do the right pose day by day. 

Time flies, it has been 1,5 years. Honestly, i often got lazy in the beginning, but time makes me become addicted. I am happy with my body progress. Yeahh, It is slow but sure. Anyway , i am still just an amateur (that's why i don't post the photo of me, hehe) . It is not easy to manage the schedule since as the coass,  i also work in the night shift 1-2x in a week beside the usual working hours (monday-friday) . But, i love to challenge my self. I am satisfied when i can  manage my time as  productive as possible. And you know what's the happiest thing?  Finally i can do pose that i was not able to do in the high school. 
Genetic is important. But don't let the bad genes stopping you to do the amazing things in your life, to do things that you love. Your life is yours. If the talented person can do perfectly by one try, we need to exercise more often. Again, it doesn't mean we can not. It is only a matter of time.

Exercise  is very good for our health.  I am writing to invite you to exercise , especially for you who doesn't have natural talent like me. You are not alone, many people are not blessed with flexible body. All you need is to find the strong reason to fight your laziness. Then keep doing exercise until you find something is going wrong when you don't. We don't need to be number one, also  don't to need to compare ourself to others. The only ideal competitor is ourself in past. 

Selasa, 11 Oktober 2016

Pengusaha itu harus cerdas!

Kita kerap kali mendengar opini orang untuk menjadi pengusaha gak harus pintar. Rejeki sudah diatur Tuhan, kaya itu bejo-bejoan. Ada yang lebih ekstrem lagi, yang berbangga dengan "ketidakcerdasan"nya, "Gak apa-apa remidi terus, gak perlu capek-capek belajar, Bob Sadino (alm) saja tidak tamat SMP". Kemudian menjadikan alasan tersebut untuk bermalas-malasan belajar dan mengembangkan diri?

Bagaimana menurut anda? Berikut pengalaman saya yang menguatkan keyakinan saya bahwa pengusaha itu harus cerdas.

Keluarga saya mempunyai bisnis baru berupa villa di Bali, hanya beberapa villa kecil yang kami sewakan harian untuk mencari penghasilan tambahan. Villa itu didirikan pada tahun 2012. Dengan latar belakang saya dan orang tua yang bukan berada di bidang tourism, kami menyerahkan operasional villa kami ke suatu manajemen lokal dengan imbalan fee dari keuntungan bersih.

Saya tidak setuju dengan beberapa buku bisnis yang 'seolah' menggampangkan segala usaha. Kasi modal, serahkan pada ahlinya, dan tinggal mengecek laporan setiap bulan. Trust me, it is not as that easy. Terutama jika kita hanya pemodal kecil dan pemula.

Operasional villa tidak berjalan mulus, dari occupancy yang tidak stabil, complaint tamu yang tidak direspons dengan baik, serta keuntungan yang tidak sesuai target. Pada setiap meeting evaluasi, akan muncul jawaban yang sama, "Ya mau gimana lagi sekarang banyak hotel dan villa baru" . Sampai pada suatu titik jenuh , kami diultimatum bahwa owner tidak boleh ikut campur urusan manajemen. Jelas kami tidak ingin mencampuri jika semuanya berjalan sesuai target, tapi kalau tidak kami berhak masuk ke sistem kan? Oya, di perjanjian awal , kami diperbolehkan untuk masuk ke ranah operasional.

Ketika rasa curiga akan tidak adanya transparansi, saya akhirnya memutuskan untuk mencari tahu semua sumber online reservation yang kami punya. Hal pertama yang harus saya ketahui adalah username dan password. Sayapun menemui staff reservasi villa kami di kantor dan menanyakan data tersebut. Anda tahu jawaban apa yang saya dapatkan "Password tidak boleh keluar, yang boleh tahu hanya saya dan manajemen". Saat itu saya benar-benar marah dan kesal, lalu mengomel dalam hati, "Dasar baru jadi daily worker saja sombongnya sudah setengah mati!". Kemudian saya berpikir  rugi juga ya kalau saya cuma marah. Saya sadar semua ini akibat langsung dari kebodohan saya.

Beberapa bulan setelahnya, dengan beberapa negosiasi dan jalan damai yang telah diupayakan, akhirnya kami mengambil jalan ekstrem untuk memutus kerja sama dengan pihak manajemen. Keputusan yang berat dan nekat karena kami sama sekali tidak tau bagaimana cara mengoperasikan sebuah villa.

Manajemen pun memblok ruang gerak kami. Semua sumber online reservation diputus saat itu. Kami harus menghubungi satu per satu agent , memulai dari awal dan membuat kontrak baru . Semuanya memakan waktu yang tidak sedikit. Selama itu pula tidak ada reservasi baru yang masuk, ranking villa turun dan staff kehilangan harapan. Kenapa memakan waktu lama? Karena saya bodoh dan mencoba-coba meraba sistem ecommerce hotel dan villa, mengenal online travel agent, extranet, channel manager, mapping, yang semuanya belum pernah saya pelajari. Celakanya saya kembali diremehkan oleh seorang staff perempuan yang menangani bidang ecommerce saat itu.

Saya ditugaskan untuk menyerap ilmunya, dan harga diri saya berkali-kali diinjak. Dia kerap kali mengeluh keputusan kami yang keluar dari manajemen. Ketika saya bertanya, dia hanya menjawab ," Ini manajemen yang tau, aku gak tau" . Atau menjawab, "Gini lo caranya, kan bisa dilogika". Disini saya belajar, tidak peduli statusmu, orang bodoh akan selalu diremehkan. Beberapa minggu berselah akhirnya dia memutuskan resign.

Saya belajar dengan modal nekat, bertanya dengan bodoh ke market manager hal-hal yang simple, membaca guidance yang ada, dan mengikuti training . Bahkan,  menulis bahasa inggris formalpun saya tidak tau. Saya terus dibayang-bayangi ketakutan perusahaan yang semakin merugi. Tiga bulan awal adalah saat-saat yang sulit, kami mencapai rekor titik terendah penghasilan yang didapat sejak villa beroperasi. Tetapi saya percaya bahwa kebodohan adalah hal yang bisa diberantas dengan usaha kuat untuk belajar. Kecerdasan di suatu bidang bisa diraih dengan kombinasi antara pengalaman, membaca, bertanya , dan berdiskusi dengan orang-orang yang hebat.

Kami melakukan pembenahan di beberapa aspek. Walaupun kecil, kami ingin mengelolanya dengan profesional. Memang masih jauh dari sempurna, tetapi kami berkomitment untuk terus belajar dan melakukan perbaikan, baik itu fasilitas, servis, maupun sistem. Jika memikirkan saat-saat kritis itu,  saya pribadi tidak menyangka dengan semua kejutan yang terjadi selama 2 tahun ini. Saya beruntung mendapat pelajaran hidup bahwa keragu-keraguan dan kebodohan tidak boleh menghentikan langkah untuk maju. Jalan ke depan dan terus belajar, dan kita tidak akan menjadi orang yang sama.

Memang banyak pengusaha sukses yang hanya lulusan SD bahkan tidak sekolah sekalipun. Tetapi, mereka rata-rata datang dari keluarga yang jauh dari cukup, sehingga akhirnya putus sekolah dan bekerja di usia yang belia. Betul adanya, si bintang kelas belum tentu menjadi orang sukses . Karena edukasi formal hanya mengajarkan 5% dari pelajaran hidup, sisanya adalah melalui suatu proses belajar yang terus berlangsung. Mengutip kata kata dari konsultan saya, "Pengusaha  haruslah cerdas , karena dengan begitu dia tidak akan pernah takut kehilangan orang ( staff ) ". Mereka harus tau secara general apa saja yang dikerjakan oleh semua staffnya dan menguasai secara detail domain yang penting dalam sebuah perusahaan.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Hati Pasien Psikotik

Sinar matahari pagi menembus gorden, berusaha membangunkan penghuninya. Aku terbangun kaget, "oh sudah jam setengah 7", keluhku dalam hati, yang berarti alarm sudah aku snooze sebanyak tiga kali. Dengan masih menahan ngantuk , aku melangkahkan kaki mengambil handuk dan melakukan rutinitas pagi. Sadar sudah terlambat, aku mempercepat setiap gerakanku.

Kegiatan di poli berjalan seperti biasa, nyaris tidak ada yang spesial. Poli yang sempit dengan ruang tunggu padat  pasien yang mencari secercah harapan. Kemudian pasien wanita berusia sekitar 30an. Dia mengenakan terusan bunga-bunga dengan jilbab yang dililitkan di lehernya. Wajahnya nampak cemas dan bingung, tapi masih jelas terpancar kecantikannya. Namanya ibu devi. Ibu devi pun naik ke kasur pemeriksaan khusus kandungan dan diperiksa oleh supervisor. Kursinya didesain khusus untuk memudahkan pemeriksaan pada area intim wanita, dengan 2 tatakan besi di kanan kiri untuk meletakkan kaki pasien. Ibu devi tampak kesakitan, menangis, dan sangat tidak kooperatif. 

Oh ini toh yang dibilang si candra barusan saat aku ke ruang sebelah menanyakan kina. "Lohh si kina mana can?" "Itu tuh doi lg anamnesa pasien skizofrenia", sambil menunjuk keluar ruangan. "Dari tadi ga balik-balik", lanjutnya lagi. 


Sedikit saya akan membahas tentang skizofrenia. Skizofrenia , maaf bahasa awamnya adalah gila, walaupun istilah "gila" sudah tidak diperbolehkan lagi karena identik dengan stigma yang memojokkan penderita. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa kronis dengan durasi lebih dari satu bulan, yang ditandai adanya hendaya(gangguan.red) dalam menilai realita atau psikotik. Ada mitos-mitos yang menyebutkan skizofrenia adalah penyakit kutukan, penyakit akibat guna-guna, turunan , dll. Perlu ditekankan disini, hal tersebut adalah tidak benar. Sungguh disayangkan banyak penderita skizofrenia yang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya, mereka dibawa ke pengobatan alternatif, minum air suci, jamu-jamuan yang belum jelas bukti ilmiah nya. 

Penyebabnya multifaktorial, mulai dari genetik, neurokimiawi di otak, pola asuh, malnutrisi, stresor yang berat hingga penggunaan NAPZA. Kembali mengingatkan, genetik bukan berarti keturunan yang mengikuti hukum mendel (misal pada buta warna) . Peran genetik ini didasarkan pada bukti epidemiologis, bila salah satu orang tua skizofrenia, kemungkinan anaknya menderita skizofrenia sebesar 10-20%. Skizofrenia juga dikaitkan dengan hiperaktivitas dopaminergik dan serotonergik yang merupkan tempat kerja dari sebagian besar obat-obat psikotropika. Kelemahan ego (mekanisme diri dalam menghadapi masalah) tertentu juga mrupakan cikal bakal skizofrenia. Mekanisme pembelaan ego proyeksi, Impuls internal yang tidak dapat diterima ditanggapi seakan-akan berasal dari luar diri. Misal tidak lulus ujian karena beranggapan guru tidak suka dengannya dan memberi nilai jelek. Atau kalah dalam kompetisi karena sedang sakit. Gampangannya ini merupakan cerminan orang-orang yang suka mencari alasan. Hal ini menimbulan waham paranoid dan menyebabkan skizofrenia paranoid. Ciri kepribadian tertentu, seperti paranoid, skizoid(suka menyendiri , tidak suka bergaul) juga merupakan faktor risiko dari skizofrenia. Sungguh multifaktorial bukan?

Oke balik lagi ke cerita tadi ya.
Supervisor poli lalu meminta untuk dilakukan biopsi karena dicurigai kanker leher rahim. Biopsi merupakan prosedur pengambilan jaringan. Dengan cepat saya langsung meminta ijin untuk melakukan biopsi ke ppds, "Dok, boleh saya yang biopsi?" , kata saya penuh harap. Senior saya (PPDS , mereka yang sedang menempuh sekolah spesialis) menjawab iba, "maaf ya dik, ini pasiennya tidak kooperatif, tadi kata perawatnya sempet teriak marah-marah, padahal kalau enggak saya pingin lo ngasi ke kamu", ujarnya merasa kasihan denganku. 
Jika anda tertarik membaca mengenai pencegahan kanker serviks/leher rahim, dapat mengunjungi link : http://renesie.blogspot.co.id/2013/11/vaksin-cegah-kanker-servix-perlukah.html

Dokternya lalu mengedukasi ibu devi , "Bu, nanti saya masukkan alat, ibu nya jangan gelisah ya, kalau gelisah malah bahaya bisa berdarah-darah", ujarnya.
"Ya gimana ya dok kalau sakit", ujarnya dengan ekspresi datar.
Dokter : "ya harus ditahan bu biar tidak berdarah"
ibu devi : "saya kan susah dok nahan rasa sakit", tetap kekeh tidak mau diperiksa
Dokter : "ditahan aja bu"
Beliau pun dengan cekatan memasuki alat untuk memeriksa leher rahim. Alatnya ada yang terbuat dari besi / plastik, ukurannya cukup besar, diameter sekitar 7,  orang normal pun juga pasti merasakan sakit. Saat dokter ppds memasukkan alatnya, pasiennya tampak tegang, sehingga alatnya tidak bisa masuk. 

Kemudian dokter nya memberi isyarat ke saya untuk menenangi pasiennya
Saya : "Bu yang tenang ya jangan ditahan, ibu nya relaks aja, tarik nafas buang nafas" , saya pun jadi ikut-ikutan tarik nafas buang nafas untuk memberi contoh
Ibu : "Tapi sakit dok, ini saya diperiksa untuk apa"
Saya : "Biar tau penyakitnya ibu bu, katanya kan ibu pendarahan ya? Ibu mau sembuh kan? ", kataku bertanya meminta persetujuan
Ibu : " Iya dok sudah lama, dulu saya tidak mau berobat karena suami saya jahat", kali ini ekspresi mukanya sedikit berubah
Dokter : "Jahat kenapa bu? ", beliau menimpali saat melakukan pemeriksaan secara seksama
Ibu : " Iya dia tidak pulang-pulang dok, tapi sekarang saya mau berobat dok, saya berobat untuk saya, saya takut berdarah-darah"
Saya : "Iya bu makanya ini diperiksa dulu ya, biar tau penyakitnya, biar ngobatinnya bener, ibu mau sembuh kan?", bujukku lagi
Ibu : "Iya dok saya mau sembuh, ini saya kena guna-guna dok. Ada orang yang tidak seneng dengan saya, saya tahu dok, dia sudah lama tidak suka dengan saya", ceritanya seperti anak-anak dengan ekspresi yang datar 

Disini saya bisa melihat sifat kekanak-kanakan yang merupakan kemunduran mental yang merupakan salah satu ciri dari psikotik. Tampak juga waham paranoid/curiga

Saya : " Iya bu makanya nanti ibu tenang ya biar bisa ga berdarah-darah lagi"
Ibu : "Iya dok gak apa-apa, saya mau dok, saya mau sembuh."

Dokter ppds mengambil jaringan leher rahim pasien dengan menggunakan alat, dijepit dan ditarik, yang sudah pasti sakit. Untungnya,  ibu devi sudah  tenang, sehingga pemeriksaan berjalan dengan lancar
Saya : "Sudah ya bu sudah selesai, wah ibunya pinter", ujarku memberi pujian
Dokter : " Dik kamu edukasi dia sejam lagi kesini lepas kasa, ini keluarganya mana sih"
Saya : " Ibu, sekarang dipasang kasa biar ga berdarah. Nanti sejam lagi kesini lagi ya lepas kasa. Nanti ketemu saya lagi" Saya lalu menunjukkan arloji tangan saya , "ini jam berapa bu?"
Ibu devi :"Jam setengah 12."
Saya : "Jadi sejam lagi ibu ketemu saya jam berapa? Ibu bawa jam gak?" 
Ibu : " Gak bawa dok, jadi jam setengah satu ketemu dokter"
saya : " Sipp bu , sejam lagi jangan lupa ya ketemu saya lagi, sudah bu celananya boleh dipakai"

Suaminya (pak ali) pun muncul . Beliau tampak lebih pendek dari si ibu, berkumis , kulit sawo matang dan wajah tegang. Pak ali membuka pintu dengan agak kasar

Dokter : "Nanti sejam lagi kesini lepas kasa ya pak."
Pak ali : "Lepas kasa apa dok?", tanyanya dengan lantang
Dokter : "Ini tadi saya ambil jaringannya , biar ga berdarah-darah saya kasi kasa"
Pak ali : "Lo? Setelah diambil kasa ga berdarah kan?", dengan nada lebih tinggi , berharap prosedur tadi bisa menghentikan pendarahan
Dokter : "Iya tetep berdarah pak, kan penyakitnya belum sembuh"
Pak ali : "Sejam lagi ya dok? Jam berapa?"
Ibu devi : "Jam setengah satu mas sejam lagi ( dia tampak kesal dengan suaminya yang tidak mengerti ucapan sejam lagi, haha)"

Sekedar informasi, sebagian besar penderita skizofrenia tidak mengalami kemunduran intelektual.

Pak ali : "Dok ini hasilnya kapan jadi?"
Dokter : "Seminggu lagi ya pak"
Pak ali :"Kok lama banget ya dok? Gak bisa lebih cepat?", protesnya dengan nada kesal

###

Tidak sampai 15 menit, seorang perawat poli, ibu sitha masuk ke kamar pemeriksaan. "Dok, ini pasiennya gelisah, konsulkan psikiatri , saya hubungin ya, nyerah saya"
Dokter: "Boleh banget bu, monggo monggo (silahkan.red) dikonsulin"
Perawat itu lalu keluar

Empat puluh menit kemudian si suami dan pasien datang, dan kebetulan ibu sitha ada di dalam.

Perawat : "Ngapain masuk lagi?"
Suami  : "Katanya lepas kasa"
Ibu devi :"Saya disuru kesini sejam lagi lepas kasa sama dokter yang itu", sambil senyum ke arah saya
Perawat : "Wes wes belum sejam, tunggu di luar dulu"

Selang waktu berlalu, saya keluar ruangan untuk sekedar melihat suasana ruang sebelah. Baru saja membuka pintu, saya sudah dikagetkan dengan suara dari Perawat, Ibu sitha

Perawat : "Mbak dm itu kasi tau pasiennya mau dikonsulin psikiatri", ucapnya
Pasien tampak marah dan masuk ke ruang yang lain

Saya mengikuti masuk ke ruang itu
Saya : "Halo ibu, gimana bu?", sambil menahan jarak ke Ibu devi, kali-kali dia lagi agresif. Di luar dugaan, ibu devi malah menjawab pertanyaan saya layaknya tidak ada sesuatu yang terjadi "Hehehe, gak apa apa dok, belum diambil ya kasanya?"
Saya : "Bu, nanti ibu ngomong-ngomong dulu ya sama dokter di sebelah, abis itu baruu saya lepas kasanya. Ibu disini aja dulu tidur-tiduran gak apa-apa"
Ibu devi : "Iya dok, saya disini ya dok", ucapnya tersenyum
Saya : "Nanti ibu dicari kesini, jangan kemana-mana ya ibu cantik"

Kemudian saya mengajak bicara keluarganya. Ternyata pasien juga didampingi oleh ibu, anak, kakak pasien, dan beberapa keluarganya lagi.
Dan saya kaget, ternyata mereka belum tahu bahwa ibu devi akan dikonsulkan ke bagian psikiatri

Ibu pasien : "Saya gak ada dikasi tau dok, ini tadi ibu devi abis marah-marah sama ibu itu"
(Keluarga berdiri berjejer  mendengarkan dengan seksama)
Saya : "Lo kenapa bu?"
Ibu pasien : "Iya dia kasar sekali, terus mau pinjam kursi roda disuruh bayar"
Saya : Mmm (mengangguk-angg), "iya bu jadi ini kita konsulkan dulu ke dokter jiwa ya bu. Ini kan penyakitnya ibu ada 2, penyakit kandungan dan penyakit jiwa. Yang kami takutkan penyakit jiwanya menghambat pengobatan penyakit kandungannya, kan kita maunya pengobatannya biar optimal bu"
Ibu : "Makasj makasi dok, ini ibu devi baru 2 hari dok ngacau2 begini"

Saya kaget, karena batas skizofrenia adalah 4 minggu. Jadi kemungkinan pasien ini masih psikotik akut yang prognosisnya jauh lebih baik dari pada skizofrenia. Setelah itu saya menjelaskan prognosis dari gejala psikotik akut yang diderita pasien, yang terbagi menjadi 3 macam, sembuh sempurna, berlanjut menjadi kronik, atau sembuh dengan gejala sisa. Kami juga berbincang-bincang mengenai kanker leher rahim, rencana terapi kami,  dan prosedur biopsi yang memang membutuhkan waktu lama untuk meluruskan pandangan suami pasien.

Lalu kami masuk lagi ke ruangan, dan ibu devi terlihat membaca doa
Ibu devi : "Ehh ada dokter cantik, saya lagi sholat dok, kan sekarang lagi sakit supaya dibantu sama gusti allah"
Keluarga pasien : " Bilangnya lagi belajar sholat gitu lo"
Ibu devi : "Hehe iya dok belajar sholat, saya berdarah-darah , harus dekat dengan Allah ya dok biar dapat kesembuhan"
Saya : "Iya bener bu, doa juga penting ya biar dibantu sama yang diatas. Apalagi ini sudah waktunya sholat"
Ibu devi : "Iya dok, sekarang sudah dzuhur. Dokter habis ini kasanya dilepas?"
Keluarga pasien : "Udah jangan diajak ngomong terus , dokternya sibuk", keluarga pasiennya sepertinya sungkan denganku
Saya : "Hehe, gak apa apa bu. Iya nanti setelah omong-omong sama dokter sebelah baru dilepas kasanya ya. Monggo dilanjutin lagi ya bu sholat  nya"
Ibu devi :" Makasi banyak dok"

Selesai dikonsulkan ke psikiatri, saya lalu melepas kasa pasiennya, tentu saja pasiennya kooperatif.  Ibu , kakak dan anak-anak pasien kompak mengucapkan terima kasih, " Terima kasih banyak dokter sudah ditolong, semoga allah yang balas kebaikan dokter" . Padahal saya tidak melakukan hal yang berarti untuk ibu devi. Penyakitnya masih ada, tetap sama. 

Walaupun awalnya sedih karena tidak dapat mencoba melakukan tetapi aku belajar banyak tentang kehidupan dan rasa syukur. Sungguh berat beban yang diderita ibu tersebut, menderita kanker leher rahim  di usia yang masih tergolong muda. Aku teringat dengan kata-kata sewaktu menjalani stase psikiatri, "Masalahmu tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah pasien kita. Kita mungkin berpikir mereka menderita gangguan jiwa karena kepribadian yang lemah, tetapi ketahuilah masalah mereka sangat berat , yang mungkin kita juga tidak siap untuk menanggungnya". 

Ya, kata-kata tersebut benar adanya. Masalah yang saya tahu hanyalah  kanker leher rahim, sangat mungkin ada masalah lain yang lebih berat . Tak ada satupun orang yang bisa terlepas dari masalah yang merupakan seni kehidupan. Tetapi selagi kita mampu, bantulah mereka yang mempunyai masalah yang lebih besar dari kita, sekecil apapun itu.

Penderita psikotik tidak sadar diri mereka sakit. Kadang mereka bicara melantur, mengamuk, bertingkah aneh, atau bahkan menimbulkan kekacauan yang fatal. Waspada dan hati-hati diperlukan tanpa menghilangkan empati. Bagaimanapun, mereka juga makhluk ciptaanNya yang mempunyai jiwa yang utuh. 

Dari beberapa episode flarenya, pasti ada celah dimana kita bisa diterima. Tentu hal ini membutuhkan usaha berkali-kali. 
Hati mereka yang keras dan dingin sejatinya haus akan kasih sayang dan perhatian.

NB : Tulisan ini saya dedikasikan untuk sanak keluarga dan orang-orang terdekat pasien psikotik. Psikotik bisa dikendalikan atau disembuhkan pada tahap akut (kurang dari satu bulan) dengan terapi obat-obatan, konseling dan juga support dari orang-orang terdekat. Memasung, mengurung pasien dalam ruang yang sempit semata-mata supaya tidak berbahaya bagi lingkungan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada tahap yang tidak bisa dikontrol, penyakit puluhan tahun dengan periode flare yang sering (kumat) , pasien bisa dirawatinapkan di rumah sakit jiwa atau menjalani rehabilitasi di panti-panti khusus. Biarkanlah mereka bahagia dan menikmati dunia dengan cara mereka sendiri. Jika ada hal yang ingin anda sharing, saya bisa dihubungi melalui email : irenesienatra@gmail.com 

With love,

Renesie

Kamis, 11 Agustus 2016

Lihat Cahaya Itu

Hai Kamu,
Lihat Cahaya itu,
Terang namun tidak menyilaukan
Mengundang setiap insan tuk mendekat
Mendekap erat hangatnya
Namun,
Dia ada nun jauh disana

Hanya yang tangguh yang sanggup,
Jalanan begitu licin
Penuh kerikil yang menyandung kaki,
Luka, air mata, derita rindu
Terjatuh sudah biasa
Jelas...
Hanya yang tak kenal lelah yang dapat memeluknya

Hai Kamu,
Akankah kamu datang? 
Pasti,
Aku yakin sebentar lagi